Desa Adat Bali Perketat Pengawasan buat Pendatang

Jakarta –

Sejumlah desa adat di Denpasar, Bali, telah memperkuat pengelolaan migran. Sebab akhir-akhir ini sering terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh pendatang.

“Sesuai aturan, masing-masing kelompok harus mengurus semua (warga pendatang), karena mereka berperilaku orang asing, siapa pun harus mengelolanya,” kata Banjar Ketut Wisna dari Desa Adat Kesiman kepada surat kabar ANBALI NEWS Bali, Rabu (10/8/2024). .

Wisna mengatakan, seluruh desa adat Kilian di Denpasar yang berjumlah 32 desa sudah menerapkan pemerintahan tersebut. Salah satunya dengan mendaftarkan tempat tinggal dan penjamin imigran tersebut.

Dalam kebanyakan kasus, pengumpulan data berfokus pada rumah kos yang ditempati oleh warga pendatang di wilayah timur Denpasar. Mereka berharap langkah ini bisa mengurangi kemungkinan terganggunya ketertiban umum tanpa terbatas pada kelompok etnis tertentu.

“Artinya perlindungan lebih. Seharusnya (tahu) siapa penjaminnya. Siapa yang mengundang, bagaimana sejarahnya? Cek,” kata Wesna.

Ia menegaskan, masyarakat Bali tidak menghalangi siapapun untuk datang dan tinggal di Bali, termasuk warga NTT atau daerah lainnya. Apalagi, saat ini banyak proyek pariwisata di Denpasar dan daerah lain di Bali yang membutuhkan tenaga kerja.

Namun kenyataannya, kata Wisna, beberapa kelompok warga dari luar Bali kerap melakukan tindakan dan mengganggu ketertiban umum. Dari laporan yang diterima dari masing-masing banjar, pelakunya merupakan warga satu desa.

Dia mencontohkan kegaduhan warga Sumba Barat Daya, NTT, yang menimbulkan kericuhan beberapa hari lalu. Mereka berteriak bersama sesama pendatang dari daerah yang sama.

“Tidak semua pekerja di NTT seperti itu. Ada juga yang kepribadiannya seperti itu. Ada sebagian masyarakat yang sangat merugikan citra NTT di Bali. Ujung-ujungnya banyak warga NTT yang terdampak,” ujarnya.

Pengurus Desa Adat Denpasar, Ketut Sodiana, mengatakan tidak ada undang-undang atau kewajiban bagi desa adat untuk mendata warga pendatang. Sodiana mengaku belum mendapat informasi mengenai desa adat yang mencatat statistik migran di wilayahnya.

“Saya belum mendapat konfirmasi dari pihak Desa Budaya yang membidangi cagar budaya untuk mendata warga pendatang,” kata Sodiana.

Namun upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar (BIMKOT) untuk menangani konflik antar warga adalah dengan Forum Manajemen Konflik yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Denpasar.

Konferensi tersebut melibatkan tim yang mempunyai misi memantau, mencegah dan membina warga Denpasar yang terlibat konflik. “Industri unggulannya adalah Kespangbul Denpasar,” kata Sudyana. Tonton video “Ucapan Nyoman Sokena Usai Bebas dari Kasus Landak Jawa” (FEM/FEM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top