Jakarta –
Survei Talking Point di Singapura menunjukkan banyak anak muda di sana yang merasa kesepian. Hampir 60 persen dari sekitar seribu peserta berusia antara 21 dan 35 tahun.
Sementara itu, 15 persen di antaranya juga merasa tidak ada teman yang bisa diajak bicara ketika ada masalah atau membahas topik penting.
“Tidak ada (yang benar-benar) memahami (saya),” tulis salah satu responden yang tidak disebutkan namanya. “Bahkan istriku.”
Menurut kampanye untuk mengatasi kesepian di Inggris, kondisi ini biasanya mengacu pada pengalaman emosional seseorang ketika kebutuhannya akan hubungan sosial yang bermakna tampaknya tidak terpenuhi.
Oleh karena itu, kesepian adalah masalah persepsi. Seseorang mungkin dikelilingi oleh orang lain namun tetap merasa kesepian karena tidak puas dengan kuantitas dan kualitas hubungan sosial yang diinginkan.
Isolasi sosial, di sisi lain, mengacu pada kurangnya kontak sosial secara obyektif. Mereka yang merasa nyaman dengan kesendirian mungkin secara fisik sendirian, namun tidak merasa sendirian.
Anak-anak muda yang berbicara kepada Talking Point menyebutkan berbagai faktor yang menyebabkan perasaan terisolasi mereka di Singapura, seperti berkurangnya jumlah anggota keluarga dan bagaimana pandemi telah mengubah cara mereka belajar dan bekerja.
Beberapa dari mereka, seperti Nur Dina, tidak mempunyai cukup waktu untuk mencari dan membangun hubungan yang bermakna.
“Saya selalu berangkat kerja dan sekolah, jadi kurang bersosialisasi,” kata mahasiswi berusia 27 tahun itu.
“Itulah mengapa terkadang aku merasa sedikit kesepian.”
Sulit untuk mengakui bahwa Anda merasa kesepian, kata Ng Jia Yue, 22 tahun, karena ekspektasi yang tinggi untuk selalu memiliki teman dan bersosialisasi.
Sementara yang lain mengungkapkan rasa frustrasi dan putus asa ketika mereka berjuang untuk menemukan anggota keluarga atau orang lain yang dapat mereka hubungi dengan mudah. Menemukan orang yang mau terbuka dalam percakapan masih merupakan tugas yang sulit.
“Sangat mudah untuk melewatkan banyak hal,” kata Kaize Ng, 22 tahun. “Banyak orang ingin menghindari percakapan yang mendalam.”
Daripada mengambil risiko dipermalukan atau ditolak, banyak anak muda beralih ke mekanisme penanggulangan yang populer: media sosial.
“Saya tidak memberi tahu siapa pun bahwa saya kesepian. “Saya hanya menggunakan TikTok untuk menghibur diri saya sendiri,” kata Ethana Sim, 26 tahun.
Pandangan lain menambahkan bahwa media online bisa menjadi pedang bermata dua. “Di TikTok dan Instagram Anda melihat teman-teman Anda makan siang bersama dan kemudian berpesta. Kemudian kamu merasa lebih buruk lagi.”
Bahaya akibat kesepian
Selain perasaan kesepian yang tidak menyenangkan, para ahli mengatakan kesepian kronis juga dapat menimbulkan konsekuensi fisik dan sosial jangka panjang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan kesepian sebagai ancaman kesehatan global, dan Vivek Murthy, salah satu ketua Komisi Hubungan Sosial WHO, mengutip sebuah penelitian yang membandingkan dampak mematikan dari kesepian dengan merokok 15 batang sehari.
“Kesepian lebih dari sekedar perasaan buruk, hal ini merugikan kesehatan individu dan masyarakat,” kata Murthy, ahli bedah umum AS, dalam sebuah pernyataan tahun lalu.
“Kesepian dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskular, demensia, stroke, depresi, kecemasan, dan kematian dini,” lanjutnya.
Pakar kesehatan mengatakan perasaan kesepian yang terus-menerus dapat meningkatkan kadar hormon stres seperti kortisol dan adrenalin, yang dapat mengganggu kemampuan kognitif, menghancurkan sistem kekebalan tubuh, dan seiring waktu, merusak kesehatan fisik kita.
Dalam nasihat kesehatannya, Murthy menjelaskan bagaimana segregasi sosial dapat merugikan masyarakat dengan mengurangi produktivitas, kinerja, dan keterlibatan masyarakat di tempat kerja, sekolah, dan lingkungan lainnya. Saksikan video “Video: Bahas Keamanan Psikologis, Kata Pakar Jangan Selalu Menyalahkan Karyawan” (naf/naf)