Jakarta —
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melaporkan pelaku usaha yang tidak jujur memiliki denda yang belum dibayar sekitar 280 miliar euro. Hal tersebut disampaikan Ketua KPPU M Fanshurullah Asa hari ini saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panitia Keenam DPR RI.
Fanshurullah mengatakan, jumlah dana yang tidak diklaim KPPU tersebut berasal dari seratus pelaku usaha nakal atau wanprestasi. Katanya, KPPU tidak berwenang menyita aset pelaku usaha yang belum membayar denda.
Sekadar informasi, ada dana yang tidak bisa kami tarik sekitar Rp280 miliar dari total sekitar 100 pelaku usaha yang belum membayar. Karena tidak ada hak untuk menyita aset tersebut, kata Panshurula. Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (31/10/2024).
Untuk itu, ia mengusulkan perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam revisi aturan tersebut, ia menuntut KPPU berhak menyita aset jika pedagang tidak mematuhi keputusan KPPU, dan KPPU akan dikenakan denda.
“Eksekusi putusan KPPU yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berupa denda harus disetor ke kas negara apabila tidak dilaksanakan. KPPU berhak menyita aset apabila pedagang tidak menaati putusan KPPU,” jelasnya.
Dia menjelaskan, usulan perubahan aturan tersebut disampaikan kepada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bapana sebagai bagian dari penyusunan kerangka regulasi dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2025-2029. Meski demikian, ia juga mendesak anggota DPR RI berinisiatif mengusulkan perubahan aturan tersebut.
Ada beberapa poin yang perlu diperbaiki. Hal ini mencakup peraturan ekstrateritorial yang mengatur pelaku usaha yang dapat menjangkau pelaku usaha di luar yurisdiksi Indonesia, peraturan mengenai pemberitahuan pasca-merger dan pemberitahuan pra-merger agar sesuai dengan praktik terbaik internasional. Selanjutnya, menetapkan program keringanan hukuman untuk memberikan pengampunan dan/atau pengurangan hukum kepada pelaku usaha yang mengakui dan/atau melaporkan pelanggaran kartel yang serius.
“Pengaturan mengenai kewenangan menggunakan cara-cara koersif untuk memperoleh bukti dalam perkara persaingan usaha. Kemudian ketentuan tambahan mengenai perizinan hak kekayaan intelektual dan prinsip persaingan yang sehat. Ketujuh, pengakuan bahwa praktik tertentu dalam pemilihan izin dapat bertentangan dengan persaingan usaha yang ada.” Terakhir, memasukkan prinsip-prinsip akal sehat ke dalam peraturan untuk memberikan panduan konkrit kepada industri,” imbuhnya. (rrd/rrd)