Jakarta –
Indonesia sebenarnya berpotensi menjadi produsen energi terbarukan, bioetanol. Bahan bakar alternatif ini juga dapat menjadi solusi untuk mencapai tujuan Net Zero Emission (NZE).
Upaya Pemerintah untuk mempercepat penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan juga harus didorong. Namun diperlukan penelitian lebih dalam karena rantai pasok bioetanol juga membutuhkan komoditas pangan.
Selain itu, penggunaan biofuel dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang sebagian besar berasal dari impor. Selain itu, karbon yang dihasilkan dari proses gas buang mobil juga lebih ramah.
Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Deendarlianto mengatakan bioetanol masuk dalam peta jalan NZE pemerintah. Teknologi ini juga harus didukung.
“Sebenarnya kita lihat masukannya, kita lihat saja road map pemerintah kita menuju NZE, informasinya menarik ya, terkait sektor transportasi, ada rencana penggunaan green hydrogen pada tahun 2031,” kata Deendarlianto seraya sedang berbincang dengan ANBALI NEWSOto. , Kamis (10/10/2024).
Yang kedua, yang paling dekat dengan biofuel, adalah untuk sektor transportasi hingga 40 persen. Artinya dari sisi ekonomi, dari sisi supply dan demand harus dikembangkan, katanya.
“Kalau pemerintah melakukan stimulus berarti ada demand, bagaimana dengan supply. Bagaimana keseimbangan antara sektor energi dan pangan? Kalau kita bicara keinginan konsumsi solar, biofuel dari sawit, biofuel dari alga,” ujarnya. dijelaskan lagi.
Terkait bioetanol, pemerintah harus belajar banyak hal dari hulu hingga hilir, misalnya dari tebu, seperti yang berhasil dilakukan di Brazil.
Pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan dengan konstruksi mesinnya. Brazil sudah berhasil memperkenalkan E100, tapi kalau kita lihat sendiri, konstruksi mesinnya juga berbeda. Pertanyaannya, apakah saya yakin kalau pemerintah mendorong maka industri akan berjalan. Kalau aturannya ditegakkan dengan baik maka akan muncul pasar, di situlah industri akan muncul, ujarnya.
Selain itu, Dr. Alloysius Joko Purwanto, Ekonom Energi ASEAN dan East Asian Economic Research Institute (ERIA), menambahkan bahwa bioetanol dan biofuel merupakan transisi energi yang perlu dioptimalkan, meskipun pekerjaan rumah masih perlu dilakukan, terutama dalam hal ketersediaan bahan baku.
Indonesia mempunyai potensi besar jika bisa menguasai bioetanol generasi kedua.
“Biotetanol juga menjadi tantangan, kita sulit mendapatkan bahan baku bioetanol dengan harga yang sesuai. Sekarang dari molasses dibuat di Surabaya, Jawa Timur. Dan harganya sangat tinggi, bisa diserap lebih banyak untuk kebutuhan industri atau untuk kebutuhan transportasi,” kata Joko.
Potensi di Indonesia ada, tapi bioetanol generasi kedua yaitu shogum, anggur rendah, sawit, biji-bijian, tapi masalahnya teknologinya belum ada. Mesinnya masih sangat mahal, masih dalam tahap penelitian.
Potensinya 30 juta kiloliter, sedangkan bensin kita 35 juta kiloliter, kalau bisa kita tutupi dengan generasi kedua, itu luar biasa, jelasnya. Saksikan video “Jalan Menuju Target Kontribusi Nasional Tahun 2030” (riar/driech)