Cara Taman Safari Wujudkan Wisata Berkelanjutan dan Manfaatkan AI

Jakarta –

Taman Safari tidak hanya fokus pada perawatan dan perlindungan satwa saja, Taman Safari juga menggunakan kecerdasan buatan untuk lebih mendekatkan diri dengan pengunjung. Dan mereka juga fokus pada pengelolaan sampah.

“Di Taman Safari, kami menggunakan kecerdasan buatan untuk menentukan profil seperti apa yang disukai pengunjung. Jadi kami tidak sekedar menawarkan untuk dijual atau dipromosikan, tapi juga menghubungkannya agar produk kami cocok untuk pasar,” kata Alexander Zulkarnain, Taman Safari Marketing Director Indonesia, dalam seminar Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2024, Kamis (10/10/2024),

“Dengan teknologi, kita bisa mengurangi bahan cetakan. Mengenai bahan cetakan, sebelum semua brosur berakhir di sampah. Jadi kita juga bisa menguranginya dengan menggunakan kecerdasan buatan untuk memaksimalkan kepuasan pengunjung dengan menggunakan teknologi. Jadi kita bisa lebih memahami, langsung dan membacanya. perilaku, untuk mendapatkan hasil terbaik,” jelasnya.

Soal pengelolaan sampah, Taman Safari sudah memiliki pengelolaan sampah sendiri. “Selama ini kita sudah banyak melakukan investasi pada pengelolaan sampah terpadu. Lalu bagaimana kita bisa membuat fasilitas sendiri agar mempunyai pengelolaan sampah terpadu sendiri? Kalau setiap bulan ratusan ribu orang datang dan menghasilkan sampah, itu semua akan menjadi beban. . pada perekonomian dan juga beban lingkungan yang besar,”

“Sampah yang paling berbahaya bukan hanya sampah plastik lho. Sampah organik juga sangat berbahaya karena menghasilkan gas metana yang tidak hanya bisa meledak, tapi juga bisa merusak ozon kita,” imbuhnya.

Taman Safari juga menyadari pentingnya pengelolaan sampah. Mereka menerapkannya di unit usaha yang belum terjangkau dan berkolaborasi dengan sistem pengelolaan sampah di berbagai daerah.

Salah satu sampah organik yang dikelola Taman Safari adalah kotoran gajah. Mereka mengubah kotoran gajah menjadi kertas.

“Gajah makan dua kuintal rumput segar dan sayur-sayuran. Nah, ternyata kotorannya tidak mudah terserap atau terurai dengan baik di lingkungan, karena terlalu banyak serat. Jadi kami memikirkannya dan mengolahnya menjadi kertas. Dan kami Kertas tersebut dijadikan buku catatan dan cinderamata,” jelas Alexander.

Namun Alexander juga menyebut mereka gagal memaksimalkan langkah tersebut.

“Sayangnya kita masih belum bisa memaksimalkan industrialisasi. Ya karena bukan itu yang kita tuju,” ujarnya.

Saksikan video “Hewan-hewan di Bali Safari Park ikut serta dalam HUT RI ke-79” (sym/wsw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top