Jakarta –
Di sektor transportasi, transisi energi dari mesin pembakaran internal ke kendaraan listrik bertenaga baterai sangat diperlukan. Namun para ahli dan akademisi memperingatkan bahwa transisi energi ini tidak boleh menimbulkan masalah pengangguran.
Seperti diketahui, kendaraan listrik, khususnya battery electric vehicle (BEV), tidak menggunakan suku cadang sebanyak kendaraan berbahan bakar bensin. Transisi energi dari ICE ke BEV sulit dilakukan.
Dr. Alloysius Joko Purwanto, ekonom energi ASEAN and East Asia Economic Research Institute (ERIA) di Jakarta Selatan, dalam perbincangan baru-baru ini dengan ANBALI NEWSOto.
Alternatif teknologi lain seperti bioetanol, biofuel, dan hidrogen sedang dijajaki untuk memperkuat transisi energi, namun masalah biaya, teknologi, dan ketersediaan bahan masih menjadi kendala.
“Saya ulangi, jika kita ingin berhasil menangkap peluang, maka diperlukan kebijakan yang bisa mengarah pada penangkapan peluang. Di sisi otomotif, industri kendaraan listrik akan membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja dibandingkan sektor otomotif ICE,” ujarnya.
“Jadi ICE lebih padat karya dibandingkan EV,” ujarnya.
“Mungkin dari sudut pandang industri itu vertikal dan lebih sederhana, sehingga kita akan memiliki banyak surplus sumber daya manusia di masa depan. Saya kira pemerintah perlu menjaring tenaga kerja, dengan kata lain, mengalihkannya ke sektor produktif lainnya.” dia menjelaskan lagi.
Diharapkan pemerintah dapat mendorong penggunaan alternatif lain.
Artinya, sektor pertanian atau industri lainnya, jasa-jasa dan sebagainya. Itu empat dan didukung oleh pendidikan, pendidikan kita harus ke arah itu, tidak bisa kita serahkan begitu saja pada mekanisme pasar., I yakin akan banyak pengangguran”,- tambahnya lagi.
Prof. Dr. Ir. Deendarlianto, S.T., M.Eng lebih lanjut menyatakan bahwa selain mendorong penggunaan energi terbarukan, perlu juga membangun industri lokal.
“Penurunan emisi CO2 itu promosikan energi terbarukan ya. Tapi jangan sampai promosi energi terbarukan. Impor malah meningkat,” kata Deen.
Pekerjaan ramah lingkungan mengacu pada pekerjaan yang mendukung dan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan, dan mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem.
Pekerjaan ini bertujuan untuk meminimalkan jejak karbon, mengurangi polusi dan mendukung pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Pekerjaan ramah lingkungan mencakup bidang-bidang seperti energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan limbah, transportasi berkelanjutan, dan pertanian berkelanjutan.
“Kalau kita bicara biodiesel, bisa dimulai dari sumber dayanya, pemurniannya, lalu pengepresannya, produksi sumber daya energinya, standarisasinya, uji apakah kita bisa menciptakan pohon industri. Banyak hal yang bisa dibangun,” ujarnya.
“Green jobs, ekonomi hijau bisa diciptakan,” lanjutnya.
“Kita bisa menjinakkan rantai pasok energi ramah lingkungan dalam segala hal. Kita beruntung punya banyak nikel, tapi jangan lupakan itu. Mobil listrik, semi konduktor sudah dibeli Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Hati-hati,” dia menjelaskan lagi. (riar/din)