Jakarta –
Bali disebut-sebut sedang mengalami over pariwisata. Sejumlah kecil masyarakat lokal Bali dikabarkan mulai menentang pengembangan pariwisata di Pulau Dewata.
“Jangan bandingkan 10 Bali baru dengan Bali. Di Bali, sebagian kecil masyarakatnya, hanya sebagian kecil saja yang menentang perkembangan pariwisata di Bali. Sementara di tempat lain ada euforia terhadap pariwisata. Artinya kalau mau untuk mengembangkan pariwisata, kita harus mengetahui terlebih dahulu “peta destinasi yang akan kita kembangkan”, kata I Nyoman Sunarta, Guru Besar Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, pada seminar Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2024 di Jakarta, Kamis (10/1). 10/2024).
Nyoman kemudian menjelaskan pengertian hiperwisata. Ia pun mencontohkan kejadian di penghujung tahun 2023 saat Bali mengalami kemacetan parah. Hingga wisatawan yang menuju bandara terpaksa menyeret tasnya di sepanjang jalan tol.
“Kapan suatu destinasi disebut hypertourism? Kalau salah satu variabelnya terasa tidak nyaman, pasti tamat. Saya ambil contoh di kalangan tuan rumah, baik wisatawan maupun lokal, kalau sudah tidak nyaman lagi dengan bisnisnya, berarti tamat.” berjalan baik di sana,” katanya.
Nyoman mengatakan Bali membutuhkan pariwisata regeneratif. Artinya, wisatawan yang datang memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.
“Pariwisata secara umum, dimana setiap orang mempunyai dampak yang sama. Semua orang, dimulai dari wisatawan dan setiap penduduk lokal, dan yang paling penting adalah dampak positifnya terhadap lingkungan. Misalnya wisatawan yang datang ke sana bukan orang-orang kaya, tapi lingkungan hidup. Pakar “Bisa memberikan edukasi kepada masyarakat yang mempunyai permasalahan lingkungan hidup. Misalnya, ahli tari mengajarkan bahasa kepada warga. Perlu dibangun kualitas seperti ini,” tuturnya.
Menghadapi permasalahan overtourism, Nyoman mengatakan destinasi harus berani membatasi jumlah kunjungan.
“Kita harus berani menentukan angkanya, tahu batasan apa saja yang bisa masuk ke destinasi kita. Misalnya kota wisata, saya ingin kota yang bagus bisa dijual dengan harga tinggi. Harus ada pasarnya,” ujarnya. pepatah.
“Lebih memilih kedatangan 5 juta orang dan menerima Rp 1 triliun setiap tahunnya atau 2,5 juta kedatangan tetapi menerima Rp 1 triliun? Agar lingkungan kita tidak rusak. Begitu banyak pengunjung yang datang maka lingkungan kita akan hancur dan diperlukan sumber daya untuk memperbaikinya. “Kami tidak akan siap,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nyoman mengakui banyaknya tantangan yang dihadapi dalam integrasi Blue-Green Circular Economy (BGCE) dalam industri pariwisata Indonesia.
“Tantangan kita adalah rendahnya kesadaran para pelaku industri dan wisatawan. Selain itu, diperlukan biaya yang besar untuk infrastruktur ramah lingkungan. Faktor regulasi yang belum memadai dan sulitnya koordinasi lintas sektor juga membuat sulit terselenggaranya pariwisata ramah lingkungan”, ujarnya. dikatakan. Saksikan video “Luhut Soroti Kualitas Pariwisata dan Perilaku Wisatawan Mancanegara di Bali” (sym/fem)