Waka MPR Ungkap Pentingnya Optimisme-Kewaspadaan Hadapi Tantangan Ekonomi

Jakarta –

Wakil Ketua Dewan Rakyat Indonesia Lestari Moerdijat mengatakan optimisme dan langkah antisipatif menjadi kunci pencapaian target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintahan baru. Ia menekankan pentingnya kebijakan strategis dan kerja sama lintas sektor untuk mendorong transisi menuju perekonomian yang stabil dan berkelanjutan.

Lestari mengatakan, kepemimpinan baru terpilih mendapat kepercayaan besar dari masyarakat, sehingga menjadi modal baik untuk langkah ke depan. Hal tersebut diungkapkannya pada pembukaan sesi diskusi daring dengan topik prospek perekonomian Indonesia hingga tahun 2025 yang diselenggarakan pada Forum Diskusi ke-12 di Denpasar, Rabu (11/6).

Lestari mengatakan, dalam pidato pertamanya, Presiden Prabowo (20 Oktober) menyoroti empat prioritas utama pembangunan ekonomi: swasembada pangan, swasembada energi, serta peningkatan dan pengurangan subsidi. Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, realisasi program-program tersebut diharapkan dapat memperkuat perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.

Rerie, anggota DPR dari daerah pemilihan kedua di Jawa Tengah, mengatakan pada akhir September bahwa Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 akan berkisar 4,8% hingga 5,0%. Menurut salah satu tokoh Partai NasDem, optimisme tersebut adalah sebagai berikut: Dewan merupakan sumber modal yang baik untuk mendorong perekonomian nasional meski menghadapi banyak kesulitan.

Lery berharap tantangan di bidang perekonomian tidak menghambat kemajuan menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Lery dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/6/2024), mengatakan, “Mengejar pertumbuhan ekonomi memang membutuhkan optimisme, namun jangan lupa untuk mempersiapkan langkah-langkah yang diantisipasi dengan terus melanjutkan proses mencari solusi atas tantangan yang kita hadapi. ”

David Sumual, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia, mengatakan perekonomian Indonesia masih dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk hasil pemilu AS dan perlambatan ekonomi Tiongkok.

Menurutnya, dunia saat ini penuh dengan ketidakstabilan, antara lain utang AS yang mencapai 120% PDB dan konflik geopolitik di banyak kawasan. David meyakini jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai di atas 5%, maka negara tidak bisa hanya mengandalkan tabungan dalam negeri.

“Agar perekonomian Indonesia bisa tumbuh 6 hingga 7 persen, harus mampu menyerap investasi asing tiga hingga empat kali lebih banyak dibandingkan tahun ini,” kata David.

David menyayangkan, di tengah deindustrialisasi Indonesia, negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia justru menarik investasi asing di berbagai sektor.

David berharap keunggulan demografi Indonesia dapat dimanfaatkan secara efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam 10-15 tahun ke depan.

Ni Made Sukartini, Program Penelitian Magister Ekonomi Kesehatan Universitas Airlangga, mengatakan prioritas kegiatan ekonomi pemerintah berbeda dengan prioritas kegiatan ekonomi individu, rumah tangga, dan dunia usaha.

Upaya pemerintah untuk mencapai target tersebut menyebabkan belanja meningkat sehingga mengakibatkan defisit anggaran. Nimade berharap kebijakan konsumsi yang tinggi dalam 10 tahun terakhir akan memperkuat daya beli melalui peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga.

Ni Made mengatakan, upaya pemerintah baru dalam mencapai swasembada pangan melalui perluasan pertanian harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat di luar Pulau Jawa dalam menanam padi. Pada masa Orde Baru, ekspansi pertanian ke luar Jawa diawali dengan program migrasi dari Jawa ke wilayah tersebut.

“Ada proses asimilasi budaya masyarakat Jawa dengan masyarakat pendatang penanam padi, yang merupakan bagian dari upaya mencapai swasembada pangan saat itu,” ujarnya.

Oleh karena itu, Ni Made menekankan, penting untuk dicatat bahwa upaya perluasan pertanian di luar Pulau Jawa terlebih dahulu harus membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi yang sesuai dan mampu berswasembada pangan.

Anggota Komite XI DPR RI Shohibul Imam mengatakan pertumbuhan ekonomi global saat ini sedang melambat. Menyaksikan pidato Presiden Prabowo saat dilantik, Sjohibul optimistis dengan realisasi beberapa program tersebut. Menurutnya, optimisme tersebut penting untuk mencapai target pertumbuhan 8% yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo.

Perdana Menteri Shohibul juga menyatakan orientasi kebijakan ekonomi pemerintahan baru adalah ekonomi kerakyatan dan memiliki rencana penanganan kredit macet pada sektor usaha kecil dan menengah.

Sonny Y. Soeharso, Wakil Direktur Komite Ahli Partai NasDem, mengatakan penyelarasan program andalan pemerintah baru dengan APBN saat ini sangat penting untuk keberhasilan. Menurutnya, prioritas program dan sikap anggaran harus selaras sehingga diperlukan kebijakan anggaran yang tepat.

Sony meyakini jika sektor perekonomian Tanah Air ditangani secara normal, maka pertumbuhan ekonomi hanya akan berkisar 5%. Pencapaian pertumbuhan ekonomi 7-8% memerlukan kebijakan, strategi dan program kerja yang tepat.

Sonny juga merekomendasikan agar pemerintah mendorong peningkatan keterampilan tenaga kerja yang diperlukan untuk pasar global dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi negara.

Wakil Pemimpin Redaksi CNBC Indonesia Manyamad Ghufron mengatakan negara lemah dalam menarik investor asing ke sektor teknologi dan produk turunannya. Calon investor mengeluhkan investasinya mudah dan pembebasan lahannya sulit, sehingga mereka membangun pabrik di Johor, Malaysia.

Goupron mengusulkan agar pemerintah mengubah peraturan yang menghambat investasi. Di sisi lain, kebijakan impor Pemerintah nampaknya sangat terbuka, khususnya pada industri tekstil dan fashion. Ghufron menekankan pentingnya kebijakan yang melindungi produk lokal.

Saur Hutabarat, jurnalis senior lainnya, mengatakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih dari 5%, pemerintah perlu meningkatkan investasi langsung di negara tersebut tiga hingga empat kali lipat. Menurutnya, pemerintah harus belajar dari Singapura yang menawarkan perlakuan setara antara investor asing dan pengusaha dalam negeri.

Saur menegaskan, diskriminasi harga tiket masih terjadi di Indonesia antara wisatawan asing dan domestik, seperti di Candi Borobudur. Ia menegaskan, karena modal tidak mengenal kewarganegaraan, maka investor asing bisa memilih negara lain jika perlakuannya berbeda. (Akan/Ega)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top