Masih Banyak Warga +62 Pilih Berobat ke LN, Yakin RI Bisa Jadi Medical Tourism?

Jakarta –

Belum lama ini, foto poster ajakan berobat ke Malaysia yang digantung di depan kantor kedutaan tersebar di media sosial. Kebetulan gedung kedutaan Malaysia hanya sekitar. 900 meter dari kantor Kementerian Kesehatan RI.

Banyak yang menilai poster ini mengacu pada pelayanan kesehatan di Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara tetangga, termasuk Malaysia. Hal ini sejalan dengan tren sekitar satu juta orang berobat ke luar negeri setiap tahunnya dengan total biaya sekitar 170 triliun rupiah.

Terutama untuk pengobatan kardiovaskular dan kanker.

Perhimpunan Onkologi Hematologi Penyakit Dalam (PERHOMPEDIN) menyebutkan banyak faktor yang melatarbelakangi tingginya angka pengobatan di luar negeri. Salah satu fiturnya yang paling menonjol adalah umur pemakaiannya yang panjang.

Perbandingannya dijelaskan oleh dokter spesialis penyakit dalam dan onkologi Ronald A Hukom. Misalnya, pasien rela bepergian ke Penang, Malaysia, karena pengobatannya hanya memakan waktu maksimal seminggu, ketimbang harus menjalani pengobatan yang kurang lebih sama di Indonesia yang memakan waktu lebih lama, hingga empat minggu.

Dia mengatakan hal seperti itu masih terjadi. Di sisi lain, khusus bagi pasien kanker, beberapa obat kemoterapi juga tidak ditanggung atau ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Dr. Ronald dalam jumpa pers, Sabtu (10/12), mengatakan, “Obat kemoterapi tidak murah, BPJS belum menyetujui obat apa pun karena dianggap terlalu mahal. Sebenarnya obat ini mahal, tapi penggunaannya terlalu boros tanpa pengawasan. ” / 2024).

“Di sisi lain, kami menuntut agar obat-obatan baru ini disetujui. Yang sebenarnya perlu diperhatikan adalah pengendalian bagaimana obat-obatan tersebut digunakan,” lanjutnya.

Wacana wisata medis

Pemerintah baru-baru ini mencoba menciptakan wisata medis di beberapa daerah, termasuk Bali. Dr. Ronald berpendapat perlu dilakukan upaya untuk memperluas rumah sakit yang dilengkapi dengan dokter spesialis, serta fasilitas dan peralatan medis, di wilayah yang paling dekat dengan negara tetangga.

“Kita harus mulai ya, misalnya dokternya masih kurang. Tapi ada RS yang dokter onkologinya ideal, kenapa Kemenkes RI punya RS yang fasilitas dokter dan rontgennya cukup ya?” jangan memilih,”

“Misalnya di Sumatera yang hanya ada tiga rumah sakit yang bisa memberikan pengobatan kanker seperti di Singapura.”

Hal ini juga berlaku di Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Dr. Ronald menyarankan untuk mendirikan setidaknya lima hingga enam rumah sakit yang masing-masing mampu bersaing dengan Malaysia dan Singapura.

Oleh karena itu, orang tersebut tidak lagi berobat, melainkan berpikir untuk ke Singapura dan Malaysia. Masih belum jelas langkah untuk benar-benar memperbaiki kondisinya, sesalnya.

Ia menyimpulkan: “Carilah 20 rumah sakit yang fokus pada pelayanan pengobatan kanker di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, ini sungguh membuat masyarakat Indonesia berpikir, kenapa ada rumah sakit seperti Sunway Hospital Kuala Lumpur. Dokter kita tidak bisa dibandingkan dengan Australia dan Malaysia.” Saksikan video “Video: IDI tentang Fenomena Pasien Indonesia Berpergian ke Luar Negeri untuk Berobat” (naf/kna)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top