Jakarta –
Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan salah satu penyumbang penerimaan negara terbesar. Tak hanya itu, industri tembakau juga memberikan dampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja, mulai dari petani hingga pedagang.
Meski begitu, pemerintah berencana menerapkan aturan seragam mengenai kemasan rokok non-merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai peraturan pelaksanaannya. 28 Januari 2024. Beberapa pihak menilai jika aturan ini diterapkan, ada kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Salah satunya, Direktur Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Economic Development and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan, sebanyak 2,29 juta pekerja bisa terkena dampak aturan tersebut. Jika mengacu pada data tenaga kerja industri hasil tembakau tahun 2019, maka jumlah tersebut setara dengan 32% angkatan kerja.
“Jadi kalau kita lihat secara keseluruhan, jumlah pekerjanya 1,6%. Kalau kita mengacu pada angkatan kerja industri tembakau tahun 2019 yang diumumkan Kementerian Perindustrian saat itu, sekitar 32%. Akan terdampak. Itu sudah cukup.” Jumlah itu sangat besar,” kata Andry dalam acara Leaders Forum ANBALI NEWS ‘Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau dalam Kebijakan Baru’ di Auditorium Menara Bank Mega, Nam Jakarta, Selasa (11 Mei 2024).
Lebih lanjut, Andry mengatakan aturan ini juga berdampak pada perekonomian Indonesia, termasuk dari sisi pendapatan nasional.
“Jadi Indef sudah menghitung kalau rancangan Permenkes itu diterapkan dampaknya saja sekitar Rp 308 triliun, itu baru dampak ekonominya,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto mengatakan pengetatan yang dilakukan pemerintah kemungkinan akan menurunkan tingkat produksi. Pada akhirnya, hal ini bisa berujung pada PHK.
“Iya industri bingung karena PP No 28, apalagi RPMK tetap ada. Karena bisa dikurangi, produksi pasti bisa dikurangi. Kalau produksi turun berarti jam kerja berkurang.” tembakau, ini sistem grosir, “PHK akan memakan waktu lama,” katanya.
Hal serupa juga diungkapkan Jenderal FPS RTMM SPSI Sudarto. Ia berpendapat bahwa industri tembakau sangat rentan terhadap peraturan baru, baik secara finansial maupun non-finansial. Menurut dia, aturan ini bisa memberi tekanan pada industri tembakau. Jika suatu industri mengalami resesi maka akan berdampak pada tenaga kerja yang ada di dalamnya, seperti berkurangnya pendapatan bahkan PHK.
“Kok bisa? Lagi-lagi seperti yang tadi diutarakan teman-teman petani kita, anggota kita di SKT, sigaret kretek tangan, mayoritas juga punya sistem penghasilan sesuai kontrak, semua ada di sana. Jadi kalau pekerjaannya tidak bekerja, gajinya akan kurang lebih sama,” katanya.
Untuk meminimalisir kejadian tersebut, pihaknya aktif melakukan berbagai upaya komunikasi melalui korespondensi dengan pemerintah, mulai dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, hingga Kementerian Tenaga Kerja. Namun, hingga rancangan peraturan tersebut terbit, pihaknya belum pernah ikut serta.
Terakhir, ia bersama anggota buruh lainnya melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Kesehatan pada 10 Oktober. Dalam kesempatan itu, ia berkesempatan bertemu dengan perwakilan Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan berjanji akan melibatkan pekerja dalam sosialisasi peraturan yang telah diterbitkan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnasi Mudi Lebih lanjut, Kusnasi mengatakan industri tembakau berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Mulai dari petani di hulu, penggulung atau buruh pabrik di kawasan produksi, hingga pedagang di hilir.
“Selain nilai ekonomi, juga memberikan dampak sosial terhadap tenaga kerja industri dan petani tembakau,” kata Kusnasi.
Oleh karena itu, Kusnani khawatir dengan dampak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1.28 Tahun 2024, khususnya terhadap pekerja dan petani tembakau.
“Jika keadaan ini terus berlanjut, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, teman-teman asosiasi pedagang pasar, pengecer, pekerja, semua orang akan terkena dampaknya, tidak hanya di hulu, tetapi juga para petani. Jika wilayah hilir juga terkena dampaknya, maka petani juga akan terkena dampaknya. secara otomatis terpengaruh. “Petani cengkeh pun sama sekarang,” tegasnya.
Kusnasi juga menilai pemerintah perlu menyiapkan aturan atau regulasi yang tidak memberatkan industri tembakau, salah satunya RUU Barang Strategis yang masih dalam pembahasan. Dengan begitu, industri bisa terus berkontribusi maksimal.
Menurutnya, industri hasil tembakau merupakan salah satu industri yang banyak menyerap tenaga kerja namun memiliki regulasi paling banyak. Apalagi regulasi yang memberatkan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1.28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) masih terus dibahas.
“Mari kita berdayakan para petani tembakau pada khususnya dan industri hasil tembakau dengan beberapa peraturan yang tegas, tidak terkendali, tidak memberatkan dan memberikan ruang bernapas bagi industri produk tembakau dan petani tembakau”.
“Saya kira rokok jenis ini tidak cocok dan harus masuk dalam produk strategis negara,” lanjutnya.
Saksikan juga video: Pajak konsumsi khusus hasil tembakau, peluang dan tantangan pemberantasan rokok selundupan
Saksikan video “Video: Daun Talas dari Lumajang Masuk Pasar Ekspor” (ega/ega)