Ekonom Sebut Pandemi Jadi Pukulan Sekaligus Peluang buat Ekonomi RI

Jakarta –

Perekonomian Indonesia mengalami penurunan yang signifikan akibat dampak pandemi Covid-19. Data triwulan II tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen (tahunan/tahun) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yaitu sebesar 5,07 persen.

Penurunan berlanjut pada kuartal III dengan kontraksi 3,49 persen. Hal ini sekaligus menempatkan Indonesia pada resesi pertama yang dialami sejak krisis keuangan Asia tahun 1998. Sektor yang menyumbang pertumbuhan negatif tersebut adalah konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.

Pandemi Covid-19 juga menyebabkan arus keluar modal dari pasar keuangan Indonesia, dimana banyak investor asing menarik investasinya dari pasar obligasi dan saham. Situasi ini tentu menambah tekanan di pasar keuangan dan melemahkan nilai rupee.

Penurunan likuiditas di pasar keuangan ini menyulitkan bank dan lembaga keuangan untuk memberikan pinjaman baru atau membantu debitur yang kesulitan. Dampaknya, rasio kredit bermasalah (NPL) meningkat dari 2,5 persen pada Januari 2020 menjadi 3,1 persen pada pertengahan tahun.

Peningkatan ini mencerminkan kesulitan yang dialami banyak perusahaan dan individu dalam memenuhi kewajiban utangnya. Meskipun restrukturisasi pinjaman memberikan sedikit keringanan, dampak jangka panjang dari pandemi ini berpotensi memperburuk situasi keuangan.

Perusahaan dengan utang yang tinggi juga berada pada posisi yang sangat rentan. Dengan penurunan pendapatan yang signifikan, banyak orang yang kesulitan membayar utangnya, sehingga menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi di negara tersebut.

Berkaca dari hal tersebut, ekonom dan pakar keuangan Hans Kwee menyatakan situasi saat ini masih terdampak dampak pandemi Covid-19. Dimana banyak usaha yang terpaksa tutup karena dampak yang berkepanjangan.

Meskipun ada upaya restrukturisasi utang untuk membantu pemulihan perusahaan, banyak perusahaan masih kesulitan mendapatkan tambahan modal untuk kembali beroperasi. Daya beli masyarakat juga hilang dan banyak pengusaha yang merugi dan tidak bisa kembali beroperasi, ujarnya.

Ia mencontohkan perusahaan tekstil Sritex yang dulunya sangat bagus, namun saat ini kalah bersaing di pasar. Hal ini juga disebabkan oleh dampak penurunan pasar akibat pandemi Covid-19.

Turunnya daya beli masyarakat juga menjadi faktor penting. Ia mencatat, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) banyak melambat antara tahun lalu dan tahun ini karena pemerintah terlalu cepat menarik stimulus Covid-19. Hal ini menciptakan tantangan bagi dunia usaha untuk bersaing, terutama bagi usaha kecil yang membutuhkan lebih banyak dukungan pemerintah.

“Dari segi kesehatan mungkin pemerintah bisa mundur, tapi tidak dari segi bisnis,” tegasnya.

Dampak lain dari pandemi juga terkait dengan perubahan kepemilikan perusahaan atau akuisisi perusahaan karena berbagai alasan, salah satunya adalah perusahaan mencari investasi untuk bertahan dalam kondisi perekonomian yang penuh tantangan. Contoh perubahan kepemilikan yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 terjadi pada sektor e-commerce yang dilakukan oleh PT Global Digital Niaga Tbk alias Blibli.com dengan mengakuisisi 51 persen saham PT Supra Vogue. Lestari Tbk. pada tanggal 30 September 2021.

Perubahan kepemilikan atau akuisisi perusahaan juga terlihat pada investor yang mencari bisnis yang tangguh, serta pemilik yang ingin keluar dari bisnis tertentu.

Contoh perubahan kepemilikan tidak langsung lainnya juga terjadi pada PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM), dimana pemegang saham mayoritas, DH Corporation Ltd, diakuisisi oleh Xing Wang Group. DH Corporation, yang sebelumnya dimiliki oleh Hadiran Sridjaja, diakuisisi oleh Xing Wang Group sebagai bagian dari strategi ekspansi bisnisnya di Indonesia. Langkah ini sejalan dengan rencana divestasi perusahaan dari bisnis resin sintetis.

Namun TDPM sendiri pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 28 Maret 2024 menyetujui perubahan nama menjadi PT Tianrong Chemical Industry Tbk yang disetujui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

“Ini wajar. Secara umum, perusahaan dengan modal besar dan tim yang kuat akan mendominasi pasar,” tutupnya. (fdl/fdl)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top