Jakarta –
Jangan abaikan Pemprov Bali sebagai momen penilaian dan introspeksi bahwa Pulau Dewata Fodor masuk dalam kategori Daftar No List Fodor 2025, karena Pulau Dewata Fodor sedang menghadapi tantangan besar setelah survei yang diterbitkan oleh Fodor’s menemukan bahwa Bali reputasi buruk sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Indonesia dan salah satu destinasi wisata unggulan dunia menghadapi tantangan besar.
Bali masuk dalam daftar teratas tempat yang harus dihindari pada tahun 2025. Popularitas yang berlebihan membawa dampak negatif yang sangat besar bagi Bali. Permasalahan utama adalah kebijakan pemerintah yang mengutamakan pengalaman wisatawan asing dibandingkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Dampaknya, biaya hidup dan harga barang-barang di Bali meroket, sehingga mahal bahkan bagi masyarakat di sana. Selain itu, homogenisasi budaya dan pembangunan infrastruktur yang tidak terkendali membuat Bali perlahan kehilangan pesona dan keaslian alam yang menjadi daya tarik utamanya.
Rektor Program Perhotelan dan Pariwisata Universitas Bunda Mulia, Antonius Rizki Krisnadi, menyoroti dampak negatif dari besarnya arus wisatawan ke Bali, khususnya di bagian selatan, degradasi lingkungan, tekanan terhadap sumber daya alam, kenaikan biaya hidup, dan kemacetan akibat urbanisasi yang tidak terkendali.
Ia menyoroti marginalisasi budaya lokal dan ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan pariwisata yang terlalu fokus pada Bali bagian selatan, sementara daerah lain kurang mendapat manfaat.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Antonius menekankan pentingnya pendekatan holistik yang mencakup pemerataan pembangunan, pelestarian budaya, dan perlindungan lingkungan untuk menciptakan pariwisata Bali yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Nah, kebijakan ini hanya fokus pada wisatawan mancanegara, bukan budaya lokal. Dikhawatirkan, perubahan budaya lokal akan mengurangi keaslian budaya lokal tersebut, kata Antonius.
Menurut Rizki, solusi pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Bali memerlukan pendekatan terpadu yang dilakukan Destination Management Organization (DMO), yaitu kebijakan yang mengutamakan perlindungan lingkungan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama.
Salah satu langkah yang disarankan adalah dengan mengembangkan destinasi wisata alternatif di luar Bali bagian selatan, yang saat ini sudah banyak merasakan dampak besar akibat pariwisata. Dengan langkah tersebut, mereka ingin pemerataan kunjungan wisatawan dan mengurangi tekanan pada daerah tertentu. Selain itu, peningkatan kesadaran semua pihak akan pentingnya menjaga lingkungan dan budaya lokal menjadi prioritas.
Edukasi dapat dilakukan dengan menyebarkan informasi dalam bentuk brosur di hotel atau melalui promosi langsung yang ditujukan kepada wisatawan, pelaku industri, dan masyarakat lokal.
Pesan utamanya adalah mendukung upaya pelestarian lingkungan dan menghormati tradisi lokal. Antonius menekankan pentingnya penguatan infrastruktur yang mendukung pengelolaan pengunjung lebih efisien, seperti sistem transportasi ramah lingkungan dan pengelolaan sampah yang lebih baik.
Masyarakat lokal yang terlibat aktif di sektor pariwisata, bersama pengusaha kecil dan penyedia jasa, harus menerapkan modal ekonomi inklusif yang tidak hanya menguntungkan investor. Dengan memberdayakan masyarakat lokal, pariwisata tidak hanya mendatangkan manfaat ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas budaya asli Bali.
“Solusinya bagaimana mengelola pariwisata berkelanjutan jangka panjang melalui pendidikan, informasi lingkungan hidup, brosur hotel, infrastruktur dan transportasi, modal keuangan inklusif untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan,” kata Antonius. Saksikan video “VIDEO: Bali Masuk Daftar Tempat yang Tidak Layak Dikunjungi Tahun 2025” (fem/fem)