Jakarta –
Baru-baru ini Pusat Komunikasi, Media, Kebudayaan dan Sistem Informasi (Fikom Unpad), Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, melakukan kajian terhadap nelayan lobster di tiga lokasi wilayah hukum Indonesia. Survei ini merupakan pendapat mereka terhadap kebijakan benih lobster bening (BBL) yang diatur dalam peraturan Menteri Perhubungan Laut dan Perikanan.
Hasil wawancara tatap muka yang dilakukan pada tanggal 8-19. Pada bulan Oktober 2024, para nelayan lobster telah menunjukkan bahwa kebijakan ini berdampak positif terhadap pendapatan mereka dan mereka menerima bahwa lobster dapat dipelihara di wilayah Indonesia.
Kebijakan BBL tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Air dan Perikanan (KP) Nomor 2. 7 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri (Capman) KP No. 24 Tahun 2024 tentang Harga Patokan BBL. Kedua kebijakan tersebut secara khusus menangani permasalahan terkait budidaya lobster, penggunaan alat penangkapan ikan, pelepasan 2 persen rajungan hasil tangkapan, dan penetapan harga BBL.
Survei yang dilakukan di tiga stasiun penangkapan rajungan di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Sukabumi, Jawa Barat, Provinsi Lombok Timur, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat melibatkan 400 peserta dengan tingkat kepercayaan margin of error 4,9%. 95%.
Tim peneliti Fikom Unpad dipimpin oleh Kunto Adi Wibowo. D.bahwa nelayan rajungan mendukung kebijakan BBL yang dilaksanakan pemerintah.
“87,6% responden menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pengelolaan BBL. Hasil survei menunjukkan ada tiga faktor yang mendukung kebijakan ini, antara lain peningkatan pendapatan nelayan rajungan, ketersediaan rajungan di alam, dan akses terhadap benih,” Kunto ungkapnya, Senin (25/24/2024/11) diinformasikan secara tertulis.
Pelestarian lingkungan hidup menjadi perhatian para nelayan, oleh karena itu kami mendukung Permendikbud 100’s kuota tangkapan dan pengembalian (pembentukan kembali) BBL ke alam. 7 dari tahun 2024.
“Lebih dari 65% responden sangat setuju bahwa kebijakan BBL saat ini berdampak positif terhadap kelestarian lobster di alam. Oleh karena itu, mereka sadar akan tanggung jawabnya untuk mematuhi peraturan pemerintah dengan mengembalikan 2% hasil tangkapannya. ramah, penangkapan ikan menggunakan cara tidak langsung dan ramah lingkungan,” kata Kunto.
Meski demikian, Cunto mengingatkan perlunya peningkatan kesadaran di kalangan nelayan lobster mengenai kebijakan BBL.
“Pemerintah dalam hal ini BPK perlu lebih aktif melakukan edukasi agar kesadaran para pelaku lobster semakin meningkat dan mereka merasa bahwa pemerintah peduli terhadap permasalahan mereka,” ujarnya.
Cunto menambahkan, karena lokasi nelayan rajungan seringkali jauh dari transportasi dan komunikasi, maka konsultasi tatap muka menjadi pilihan utama untuk menyampaikan informasi yang relevan kepada nelayan.
Contohnya adalah di lokasi penelitian Kabupaten Pesisir Barat yang media dan internet yang biasanya menjadi sumber informasi bagi masyarakat perkotaan tidak dapat menjangkau mereka karena letaknya yang terlalu jauh dan tidak mudah dijangkau.
Lebih lanjut, Kunto menyarankan agar Kementerian Perikanan dan Budidaya bekerja sama dengan pimpinan dan pimpinan kelompok nelayan setempat untuk melakukan sosialisasi kepada nelayan lobster. Selain itu, para nelayan lobster menghabiskan waktu berhari-hari dalam menangkap ikan di laut dan memerlukan perlakuan khusus ketika dilatih mengenai kebijakan BBL.
Tonton juga videonya: Lanal Lampung mengamankan 194.156 benih rajungan ilegal senilai $29 miliar.
(prf/adalah)