We Love Bali, Saatnya Berbenah

Jakarta –

‘Sebaiknya jangan ke Canggu, memang macet, saya baru dua jam ke sana’ Begitulah saran dari supir mobil sewaan saat kami tiba di Bali. Sopir mengatakan, kemacetan sudah menjadi kejadian sehari-hari di Canggu, tidak hanya di akhir pekan karena banyaknya wisatawan.

Ya, banyak tempat di Bali yang memang banyak dikunjungi turis atau wisatawan mancanegara. Meski masuknya wisatawan baik untuk devisa negara, namun jika tidak diimbangi dengan kepuasan warga lokal, justru akan menjadi bumerang sehingga memunculkan istilah over-tourism. Persoalan properti akomodasi milik warga negara asing (WNA) di Bali sering kita dengar namun tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat sekitar.

Overtourism sendiri merupakan fenomena dimana suatu destinasi sudah tidak mampu lagi menampung wisatawan yang datang. Faktor wisatawan ini mulai membludak ketika pandemi COVID berakhir. Ketika perjalanan menjadi lebih mudah dan semakin banyak orang memposting konten demi konten di media sosial, banyak destinasi favorit yang dibanjiri wisatawan. Tak terkecuali Bali.

Kekhawatiran akan terjadinya pariwisata berlebihan telah disampaikan oleh beberapa kalangan sejak tahun lalu. Berbagai media asing kerap menyebut Bali mulai mengalami over-tourism.

Beberapa waktu lalu Channel News Asia menerbitkan artikel opini tentang Bali ‘Tidak seperti Bali dulu? Inilah yang dilakukan oleh pariwisata berlebihan terhadap pulau tersebut. Kemudian situs travel Amerika Fodor’s kembali memasukkan Bali ke dalam daftar larangan dikunjungi pada tahun 2025. Website ini juga memasukkan Bali ke dalam daftar yang sama pada tahun 2020.

Dibandingkan Eropa dan beberapa destinasi ASEAN lainnya, Bali sebenarnya mempunyai ruang untuk menghindari over-tourism dari segi luas.

Luas wilayah Bali mencapai 5.636,66 km2, jumlah penduduk 4 juta jiwa dengan jumlah wisatawan 5,2 juta jiwa pada tahun 2023 dan rata-rata kunjungan sekitar 500 ribu orang per bulan. Pada tahun 2024 saja akan ada sekitar 4,5 juta wisatawan, masih rendah dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 6 juta.

Sementara destinasi lain yang mengalami over-tourism, Barcelona memiliki luas 101,9 km2 dengan jumlah penduduk 5 juta jiwa dan kunjungan wisatawan 12,4 juta orang.

Kota lain yang informasinya memenuhi kriteria overtourism adalah Venesia. Venesia memiliki luas 412 km² dengan jumlah penduduk sekitar 250 ribu jiwa dan dikunjungi 5,7 juta orang pada tahun 2023.

Sedangkan tingkat okupansi hotel di Bali sebesar 66 persen. Jadi jika melihat data di atas, Bali masih tergolong lebih sehat. Tentu bukan rahasia lagi kalau konsentrasi pariwisata Bali masih berada di wilayah selatan. Wilayah selatan Bali seperti Kuta, Sanur, Canggu dan Seminyak sudah penuh sesak sehingga menimbulkan permasalahan seperti pariwisata yang berlebihan dan kemacetan lalu lintas.

Maka mau tidak mau konsentrasi di Bali selatan ini harus dipecah dengan membangun atau memperbaiki kawasan wisata di Bali Utara, Barat, dan Timur yang masih tergolong perawan.

Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan pariwisata di wilayah utara, timur, dan barat Bali. Mulai dari pembangunan MRT Bali atau Proyek Subway Bali yang sudah mulai ground ground di bandara I Gusti Ngurah Rai, hingga rencana pembangunan bandara di Bali Utara.

Namun pengembangan Bali Utara tidak akan mudah karena secara geografis topografi di sana relatif lebih tinggi dibandingkan Bali Selatan yang datar. Sehingga biaya pembangunan bandara atau kawasan wisata akan lebih tinggi meski Presiden Prabowo Subianto sudah berkomitmen membangunnya.

Saya sudah sampaikan komitmen saya untuk membangun Bandara Internasional Bali Utara, kata Prabowo dalam pidatonya di Restoran Bendega, Denpasar awal bulan ini.

Prabowo mengatakan rencana tersebut dapat mendukung pariwisata di Bali bagian utara, karena bisa menjadikan Bali The New Singapore atau The New Hong Kong.

Sementara itu, Utusan Khusus Presiden Bidang Pariwisata Zita Anjani menilai kritik dari media asing sebenarnya merupakan peluang untuk memperbaiki diri dan mengembangkan pariwisata di Bali.

Kritik Fodor mengingatkan kita bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Bali adalah ikon pariwisata Indonesia. Untuk menjaga reputasi tersebut, kita harus bersinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Kritik dan apresiasi global semacam itu. Kecintaan dunia terhadap Bali. Mari kita jadikan momentum ini untuk berbenah, ujarnya. Simak videonya Video: Bali Masuk Daftar Destinasi yang Tidak mereka layak dikunjungi pada tahun 2025″ (ddn/ddn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top