Jakarta –
Menurut para ekonom, rencana kenaikan tarif PPN (pajak penjualan) dari saat ini 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 sebaiknya ditunda. Hal ini mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat yang relatif kuat, terutama pada kelompok kelas menengah.
“Jika angka ini bertahan hingga awal tahun 2025, kami pikir pemerintah harus mempertimbangkan kembali penerapan tarif PPN baru sebesar 12 persen seperti yang direncanakan semula,” Yusuf Rendy, ekonom Center for Economic Reform (CORE), mengatakan kepada ANBALI NEWS, Selasa. (8 Oktober 2024). ).
Menurut Rendy, indikator inflasi inti yang angkanya relatif sama dengan kondisi pandemi COVID-19 menunjukkan adanya pelemahan permintaan terutama pada kelompok kelas menengah. Belum lagi penurunan PMI manufaktur dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa bulan terakhir.
“Hal ini perlu dibenahi, apalagi jika menyasar kelompok tertentu seperti kelas menengah,” ujarnya.
Menaikkan pajak penjualan menjadi 12% dipandang meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli, yang dapat mempengaruhi perekonomian secara umum. Dengan ditundanya kebijakan ini membuktikan bahwa negara hadir untuk rakyat, bukan sekedar pendapatan.
“Perlambatan konsumsi masyarakat kelas menengah akibat usulan kenaikan PPN sebesar 12% tentunya juga akan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara umum,” ujarnya.
Secara terpisah, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), mengatakan tidak hanya masyarakat, pelaku usaha manufaktur dan ritel juga dirugikan akibat kenaikan PPN hingga 12%.
“Yang disayangkan bukan hanya daya beli masyarakat yang anjlok, tapi pedagang di sektor manufaktur dan ritel juga ikut gigit jari. Efek dominonya adalah ketika konsumen mengurangi belanja, perusahaan bisa mengurangi kapasitas produksi, seperti yang saat ini tercermin pada, Misalnya PMI manufaktur yang berada di bawah level 50,” imbuhnya.
Penurunan produktivitas mengurangi risiko peluang kerja dan mempersulit pencarian tenaga kerja baru di sektor formal. Menaikkan PPN menjadi 12% diyakini dapat menyebabkan redundansi massal, terutama di sektor industri dan ritel.
“Pemerintah harus secara rasional memperhitungkan keseimbangan antara penerimaan negara dari tarif PPN 12 persen dengan dampak pelemahannya terhadap perekonomian. Dampak kenaikan tarif PPN 12 persen diperkirakan akan menurunkan minat masyarakat untuk mengonsumsi barang sekunder dan tersier,” ujarnya. kata menteri. seperti elektronik, fashion, kendaraan bermotor, pungkas Bhima.
Simak video “Kenaikan PPN 12%, Menko Airlangga: Nanti Lihat RUU APBN” (help/ara)