Lasem-
Lasem tidak terbatas pada kawasan Pecinan saja. Ada kesenian Lasan yang konon mempunyai aroma misterius. Apa saja pencapaian dan filosofi di baliknya?
Pertunjukan Lasan, salah satu kesenian rakyat daerah Lembang Lasem, Provinsi Jawa Tengah, nampaknya semakin langka. Seni ini juga konon kaya akan mistisisme.
Yon Suprayoga, budayawan asal Lasem, menjelaskan, proses pementasan kesenian rakyat ini diawali dengan menyanyikan syair kuno yang biasa disebut Elaelo. Yon mengatakan, Elaelo mengacu pada lambang tauhid, La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah.
“(Ellaelo) adalah lagu yang dibawakan oleh para penyanyi dengan diiringi musik yang diramu dengan suara alat musik yang terbuat dari potongan bambu dan jun. Baru setelah itu penari lasan dapat menari, dan ditengah-tengah tarian, para penari tersebut masuk ke dalam ‘kandang’, sebelumnya Dibungkus dengan kain putih, lalu dibalut dan dilakukan ritual,” jelas Yon saat ditemui di kediamannya di Desa Soditan, Lasem, Rembang, Minggu (8/12).
Ritual Laesan memerlukan bunga telon dan pembakaran dupa, mirip dengan kesenian Cintren khas Cirebon.
“Laesan pasti mirip dengan karya Cintren. Bedanya, Sintren ditarikan oleh perempuan, sedangkan Lasan ditarikan oleh laki-laki, dan bagian nyanyiannya juga berbeda. Pementasannya sendiri tidak terpaku pada momen atau hari tertentu dalam seminggu, dan biasanya kami hanya bermain pada malam hari,” kata Yon.
Kesenian ini juga tergolong langka karena hanya ada satu kelompok di masyarakat Lasanrajem.
“Nggih Mas, ini kesenian yang langka. Tidak ada kelompok lain di Lasem selain kelompok Laesan yang tergabung dalam komunitas Laesan Lasem,” lanjut filosofi di balik Kesenian Laesan.
Yon mengungkapkan, Raesan memiliki makna kosong. Hal ini terungkap melalui penari Lasan yang berekspresi kosong seolah terhipnotis. Dalam pamerannya, para penari menggerakkan tubuhnya selaras dengan musik dan lagu yang dimainkan.
Artinya manusia sebenarnya kosong dan hampa. Segala sesuatu tidak lepas dari takdir Tuhan. Ini dijelaskan dengan ‘La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah Pangerane Gawe Laes’, kata seniman Laesan.
Lanjutnya, “Selalu ada lagu-lagu yang mengandung falsafah hidup, termasuk lagu pembuka yang menyebut tauhid, nama Allah, dan nama Rosul. melakukan semua hal.’ “Saya memberikannya kepada Anda,” tambahnya. .
Profesor Yon mengatakan, hingga saat ini belum ditemukan literatur khusus mengenai Laesan. Pendirinya dan kapan kesenian ini mulai berkembang masih menjadi misteri.
Berdasarkan analisanya yang mengacu pada beberapa petunjuk terminologi seni puisi Laesan, ditemukan keterkaitan dengan peristiwa Perang Kuning di wilayah Lasem. Di sana, Yon menyimpulkan bahwa kesenian Lasanrajem berkembang setelah pecahnya Perang Kuning.
“Contohnya kita menggunakan kata kapten dalam lagunya. Istilah kapten sendiri mulai populer pada saat pecahnya Perang Kuning-Kuning atau Perang Rasem. Perang Kuning-Kuning sendiri merupakan pertarungan antara masyarakat adat dengan koalisi negara-negara Arab. -Masyarakat Tionghoa melawan VOC. Saat itu terjadi perang, dan penjajah Belanda membenarkan bahwa setelah itu, “Seni lassan mulai berkembang di masyarakat,” jelas Jon.
Saat ini kesenian Lasan Lasem masih dipentaskan pada hari-hari sedekah dunia dan lokal. Untuk menjaga keunikan budaya Lasem, keberadaannya akan terus dilestarikan di masa depan.
“Walaupun tidak terlalu sering dipentaskan, namun tetap dianggap sebagai pertunjukan yang berkelanjutan hingga saat ini. Banyak masyarakat yang masih antusias menyaksikan pertunjukan tersebut. Terakhir pada bulan November kemarin di Alun-Alun Lembang,” pungkas Yon.
——-
Artikel ini dimuat di ANBALI NEWSJateng. Saksikan video “Mengenakan Kostum Tari Gandrung Berhiaskan Gajah Oling di Banyuwangi” (wsw/wsw)