Jakarta –
Kementerian Kelautan dan Perikanan (MMF) mengumumkan Turki telah menginvestasikan sekitar 40 juta dolar AS atau Rp 634 miliar untuk budidaya tuna di Indonesia. Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono dalam wawancara eksklusif dengan ANBALI NEWS.
Pria bernama Trenggono itu mengatakan, tuna merupakan komoditas strategis karena nilainya yang tinggi. Namun Indonesia rata-rata hanya memproduksi 1.200 ton tuna per tahun. Padahal, Indonesia mempunyai kapasitas produksi ikan tuna mencapai 340 ribu ton.
“Indonesia sekitar 1.200 ton per tahun. Lalu ada negara lain seperti Australia yang mencapai 6.000 ton. Lalu Turki 5.000-6.000 ton. Nah, tuna itu komoditas yang sangat strategis karena nilainya kan? Tinggi sekali. Namanya sashimi dan sebagainya,” kata Trenggono beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, beberapa negara maju seperti Türkiye dan Australia bergerak di bidang budidaya ikan tuna atau tuna. Tuna dipelihara di keramba hingga umur tertentu. Trenggono mengatakan, dengan membudidayakan produk ikan ini di Turki, Anda bisa mendapatkan ikan tuna seberat 200-230 kilogram.
Ia juga mengundang investor Turki untuk mengembangkan budidaya tuna di Biak, Papua, Indonesia. Trenggono mengatakan saat ini masih dalam proses pengembangan. Ia berencana memulai budidaya tuna di Biaki tahun depan.
“Kami orang Indonesia, karena jumlahnya banyak, kami sudah mulai masuk ke sana. Jadi kami mengundang investor dari Turki untuk masuk ke Biak, salah satunya. Mereka bawa dua kapal, lalu dibuatkan keramba, sekarang sudah ada di sana. Kami berharap bahwa tahun depan “bisa mulai bertani dan pertama kali di Indonesia bisa bertani tuna. Sekitar US$40 juta (nilai investasi),” kata Trenggono bersamanya.
Menurutnya, karena budidaya ini, produksi ikan tuna bisa meningkat signifikan. Hal ini disebabkan karena teknik yang digunakan dalam budidaya ikan tuna berbeda dengan yang digunakan oleh nelayan.
“Iya lumayan signifikan, karena satu keramba saja bisa menghasilkan 2.000 ikan. Nah, kalau 10, itu sudah cukup. Saya kira karena kita suka nelayan, tapi menggunakan pancing ulur. Dan itu tidak terlalu berkelanjutan, karena ketika “garis, garis tangan didistribusikan dalam jumlah besar, terutama garis. Dengan cara itu tentu sedikit berbeda dengan cara beternak seperti ini,” jelas Trenggono.
Tonton juga videonya: Kisah masa kecil Lumajang yang menghasilkan jutaan rupee dari budidaya ikan koi
(ed./ed.)