Jakarta –
Pemerintah dipastikan akan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini mulai berlaku mulai 1 Januari 2025.
Menteri Perekonomian Airlanga Hartarto menjelaskan kenaikan PPN sudah menjadi undang-undang yang pasti dan harus dilaksanakan. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.
Airlanga seperti dikutip, Rabu (4/12/2024), “Itu bagian dari undang-undang yang sudah diterapkan.”
Sebelumnya, Menteri Keuangan Shri Mulyani Indrawati juga sempat melontarkan pernyataan serupa terkait kenaikan PPN menjadi 12% yang diperbolehkan dalam UU HPP. Ia menegaskan, kebijakan tersebut tidak dilakukan secara membabi buta, melainkan melalui diskusi panjang dengan DPR RI. Hal itu diungkapkannya dalam rapat kerja dengan perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat ke-11 DPR beberapa waktu lalu.
“Undang-undangnya sudah ada, kita perlu kerangka agar bisa dilaksanakan. Tapi dengan informasi yang lebih baik kita tetap…daripada buta, kita harus terus menjaga APBN tetap sehat,” kata Mulyani.
Pak Mulyani memastikan, ketika keputusan kenaikan PPN diambil, pemerintah akan menjelaskan kepada masyarakat secara detail tujuan kebijakan tersebut dan manfaatnya bagi keuangan negara.
“Saya setuju kita perlu memberikan lebih banyak informasi kepada masyarakat, artinya meskipun kita mempolitisasi pajak dengan PPN, kita tidak buta, tidak ada jaminan atau fokus pada bidang-bidang seperti kesehatan reproduksi, pendidikan, dan lain-lain. Itu tadi,” katanya.
Apa itu PPN?
Menurut situs Pusat Pembelajaran Kementerian Keuangan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas konsumsi barang dan jasa di bidang kepabeanan yang bertahap pada setiap lini produksi dan distribusi.
PPN merupakan salah satu bentuk pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. PPN ini terpisah dari pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, seperti pajak pembelian makanan di restoran, hotel atau jasa penyewaan mobil, dan resor.
PPN yang dipungut oleh pemerintah pusat dipungut atas pembelian dan penjualan banyak barang. Misalnya, pembelian mobil, rumah, dan internet termasuk di antara kegiatan jual beli yang dikenakan PPN 12%.
Dalam bahasa Inggris PPN disebut pajak pertambahan nilai (VAT) atau pajak barang dan jasa (GST), yang termasuk pajak langsung karena pajaknya dibayar atau dipungut oleh pihak selain wajib pajak. Pemerintah pusat memungut PPN dari perusahaan yang menjual barang atau jasa. Masyarakat akan bertanggung jawab membayar pajak sebagai konsumen.
Perhitungan PPN
UU HPP mengatur simulasi perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Menurut penjelasan UU tersebut, besarnya PPN yang terutang dihitung dengan mengalikan dasar nilai pajak (termasuk harga jual, konversi, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lainnya) dengan tarif PPN.
Simulasi matematika:
Pedagang Kena Pajak A menjual Barang Kena Pajak secara tunai dengan harga jual Rp10.000.000. Hutang pajak pertambahan nilai = 12% x Rp 10.000.000 = Rp 1.200.000. Pajak pertambahan nilai sebesar Rp 1.200.000 merupakan pajak ekspor yang dipungut oleh pedagang kena pajak A.
Reformasi PPN untuk pelayanan kesehatan APBN
Pak Mulyani menegaskan, pihaknya mempertimbangkan seluruh indikator dalam memutuskan kenaikan PPN. Salah satunya terkait kesehatan Badan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kata dia, APBN merupakan alat gejolak keuangan yang patut dijaga.
“Memang APBN tetap perlu dijaga kesehatannya. Namun, dalam beberapa kasus, APBN harus mampu bertindak dan merespons, seperti ketika kita menggunakannya pada saat krisis keuangan global, ketika pandemi (COVID-19) melanda. APBN, katanya.
Kenaikan PPN disebut-sebut merupakan langkah perbaikan anggaran pemerintah, apalagi pasca dunia dilanda pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu. Pandangan tersebut tidak mengherankan mengingat besarnya kontribusi PPN terhadap penerimaan negara.
Berdasarkan statistik Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Sosial (LPEM) Universitas Indonesia (UI), penerimaan PPN tetap dapat diandalkan di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi ini, mengingat distribusinya ke berbagai sektor ekonomi. Sejak tahun 2010, PPN juga menjadi penyumbang penerimaan yang besar, selain pajak penghasilan (PPh).
Menanggapi hal tersebut, Priyanto Budi Saptono, Supervisor dan Direktur Eksekutif Pratama-Creston Tax Research Institute, mengatakan kenaikan PPN sebesar 1% dapat meningkatkan penerimaan pajak Bagian Penerimaan APBN. Selain itu, peningkatan penerimaan PPN diharapkan dapat meningkatkan tarif pajak.
“Kenaikan pajak dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah dalam mengatur belanja negara terhadap APBN. Oleh karena itu, pemerintah berhak mendistribusikan kembali pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya kepada ANBALI NEWS.
Menurut Priyanto mengenai dampaknya terhadap masyarakat, pajak apapun akan menjadi beban bagi wajib pajak sebagai pembayar pajak. Oleh karena itu, setiap wajib pajak (baik perorangan maupun badan usaha) akan selalu berusaha menyeimbangkan pengeluaran usahanya. Beban adalah beban pajak.
Oleh karena itu, wajib pajak tidak akan mendapatkan keuntungan jika membayar pajaknya secara langsung. Manfaat tersebut adalah manfaat bagi pemerintah dan masyarakat dalam hal penyediaan barang publik, kata Priyanto.
Ia menambahkan, “Masyarakat menikmati barang-barang pemerintah dan publik secara cuma-cuma karena sumber pendapatan keduanya berasal dari pajak yang dibayar oleh masyarakat.
Sebelumnya, Dwi Astuti, Penasihat Direktur Operasional dan Hubungan Masyarakat (Kemenkeu) Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengatakan kebijakan kenaikan PPN akan mengecualikan banyak kelompok untuk pembangunan dan keterjangkauan. Dia mengatakan, barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tidak membayar PPN. Artinya, kebutuhan masyarakat tidak terdampak untuk kepentingan kenaikan PPN.
“Semua barang dan jasa tidak dikenakan PPN. Banyak barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tidak dibebaskan PPN,” kata Dwi, dikutip dari Antara.
Nantinya, uang pajak yang diperoleh dari penyesuaian PPN ini akan dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar. KIP) Perguruan Tinggi, Subsidi Listrik, Subsidi LPG 3 kg, Subsidi BBM dan Subsidi Pupuk.
Daftar barang dan jasa tidak dikenakan PPN 12%.
Berdasarkan UU HPP Tahun 2021 dan PMK Nomor 116/PMK.010/2017, jenis barang yang dibebaskan PPN adalah barang tertentu yang dikelompokkan dalam beberapa kategori. Berikut daftar barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN 12%.
Makanan
Hotel, Restoran, Restoran, Food Court dll. Makanan dan minuman disajikan di
Seperti halnya makanan dan minuman, baik dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang disediakan oleh tempat usaha makanan atau makanan, yang dikenakan pajak daerah dan pajak daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di daerah. . Pajak dan Pajak Teritorial.
Uang
Mata uang, emas batangan untuk keperluan devisa dan keamanan suatu negara.
Pelayan
Layanan keagamaan
Pekerjaan sosial
Layanan keuangan
Layanan Asuransi
Kegiatan pendidikan
Aktivitas kerja
Kegiatan seni dan hiburan meliputi segala jenis jasa yang dilakukan oleh pegawai seni dan hiburan, yang dikenakan pajak daerah dan pajak daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan pajak daerah.
Jasa perhotelan termasuk jasa persewaan kamar dan/atau jasa penyewaan kamar pada hotel yang dikenakan pajak daerah dan pajak daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Secara umum, pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah sehubungan dengan penyelenggaraan Pemerintahan, meliputi segala pelayanan yang berkaitan dengan pelayanan-pelayanan yang hanya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pelayanan-pelayanan tersebut tidak dapat diciptakan. dalam bentuk lain. bisnis.
Kegiatan penyediaan tempat parkir termasuk jasa penyediaan atau pengelolaan tempat parkir oleh pemilik atau pelaku usaha pengelola tempat parkir yang dikenakan pajak daerah dan pajak daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan pajak daerah dan pajak daerah. .
Beberapa layanan kesehatan medis dan yang tercakup dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pelayanan angkutan umum baik darat maupun air serta angkutan udara dalam negeri merupakan bagian dari angkutan internasional.
Pelayanan makanan atau makanan, yaitu segala kegiatan pelayanan makanan dan minuman yang ditanggung oleh pajak daerah dan pajak daerah menurut peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pajak daerah.
Daftar Barang Tidak Dikenakan PPN 12% dalam PMK 116/2017
Beras dan biji-bijian: sekam, sekam, dipoles maupun tidak, setengah giling atau utuh, pecah, biji-bijian, garam yang cocok untuk budidaya.
Jagung: atau sekam, cangkang, pecah-pecah, menir, tidak termasuk biji.
Sagu: Tepung sagu (jus sagu), Maida, Maida dan Tepung Biasa.
Kedelai: Kulit, utuh dan pecah-pecah, tidak termasuk biji.
Garam bermanfaat: beryodium atau tidak, termasuk garam meja dan garam yang tidak cocok untuk keperluan atau kebutuhan sehari-hari.
Daging: Segar dari hewan dan unggas, diproses dengan/tanpa tulang, beku, beku, dingin, asin, cincang atau lainnya.
Telur: Tidak diolah, diasinkan, dibersihkan atau diawetkan, kecuali bijinya.
Susu: Susu perah yang didinginkan atau dipanaskan, tidak mengandung gula atau bahan tambahan lainnya.
Buah-buahan: Buah-buahan yang dipetik dalam jumlah besar, telah melalui proses selain pencucian, penyortiran, pengupasan, pemotongan, pencacahan dan pengeringan.
Sayuran: Sayuran segar yang telah dipetik, dicuci, ditiriskan, disimpan pada suhu rendah dan dibekukan, termasuk sayuran yang dicincang.
Ubi jalar: Ubi jalar baik yang dicuci, disortir, dikupas, diiris, dipotong dadu dan dirusak.
Rempah-rempah: Segar, kering tetapi tidak digiling atau digiling.
Gula yang digunakan: Kristal putih dari gula untuk digunakan tanpa menambah rasa atau mengubah warna.
Daftar barang yang dikenakan PPN 12%.
Barang yang dikenakan PPN diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Kenaikan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Barang-barang berikut ini dikenakan PPN sesuai Pasal 4 Ayat 1.
Pendistribusian Barang Kena Cukai (BKP) di Daerah Pabean.
Seorang pedagang.
Impor BKP.
Pelayanan Pajak (JKP) diserahkan di Daerah Pabean
Seorang pedagang.
Penggunaan BKP ilegal di luar daerah pabean dalam daerah pabean.
Penggunaan JKP dalam daerah pabean di luar daerah pabean.
Berakhirnya masa berlaku fisik BKP dari pedagang kena pajak.
Pedagang dikenai pajak atas ekspor BKP yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ekspor JKP dipungut pajak oleh pedagang.
Simak video “Video: RI Punya Tarif PPN Tertinggi di Dunia” (prf/prf)