Jakarta –
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Reni Yanita mengatakan, rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dapat semakin membebani industri dalam negeri. Sebab kenaikan tarif PPN ini dapat meningkatkan modal yang dibutuhkan industri untuk memproduksi barang.
“Dulu 11% sampai 12%, tapi ada tambahan uang yang harus mereka bayar dulu, padahal nanti kalau jadi komoditas, tergantung bahasa pajaknya bisa dikredit,” jelas Rennie. . Selasa (19/11/2024) di Kementerian Perindustrian, Jakarta.
1% ya 1%, kalaupun kita bilang kalau jumlahnya besar, besar juga,” jelasnya lagi.
Selain meningkatnya beban modal, Gelatik juga mengkhawatirkan kenaikan harga produk akhir industri. Pasalnya, kenaikan harga suatu produk berpotensi memaksa masyarakat beralih ke produk substitusi yang lebih murah, dari mana pun produk tersebut berasal.
“Dengan daya beli seperti itu, konsumen jika diberi pilihan akan memilih yang lebih murah, apakah dalam negeri atau tidak,” kata Rennie.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Ren menilai pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar industri bisa sesedikit mungkin menaikkan harga produk hulu. Misalnya pemeriksaan terhadap produk impor ilegal.
“Misalnya di pasar kita atur, di pelabuhan-pelabuhan kecil, di pelabuhan Tikus kita atur barang-barang ilegal, ya betul, kalau tidak dijaga seperti ini, bebannya ada pada industri, kita mau. Kalau tidak, akan diteruskan ke pengguna,” jelas Rennie.
Kemudian, kata dia, penting juga bagi bank-bank milik negara (himbara) untuk memberikan pinjaman dengan bunga rendah kepada pelaku industri untuk meringankan beban keuangan.
“Yah, mungkin Himbara lebih ke industri untuk itu, pinjam uang dengan bunga rendah. Karena mereka harus punya uang, uang baru, uang menganggur dalam bahasa kita, untuk membeli,” tutupnya.
Tonton juga videonya: Indef menyayangkan rencana pemerintah menaikkan PPN hingga 12%
(acd/acd)