Sabun Mandi-Deterjen Bukan Barang Mewah, Tetap Kena PPN 12%

Jakarta –

Para ekonom mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) barang mewah menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Para ekonom memperkirakan akan terus menargetkan permintaan kelas menengah yang selalu memiliki tarif pajak pertambahan nilai sebesar 12%. .

Pengecualian pangan bukanlah kebijakan baru karena sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2009, sebelum Undang-Undang Harmonisasi Prosedur (HPP) tahun 2021.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, mengatakan, “Tuntutan pemerintah tersebut tampaknya merupakan langkah politik untuk meredam kritik masyarakat. Bahkan, kenaikan PPN akan tetap diterapkan pada kebutuhan masyarakat kelas bawah rata-rata.” Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, dalam keterangan tertulisnya. , Kamis (19/12/2024).

Tambahan pajak sebesar 12% ini bisa dikatakan berdampak besar terhadap berbagai jenis barang yang dikonsumsi masyarakat, termasuk peralatan elektronik dan suku cadang mobil. Kebutuhan sehari-hari seperti deterjen, sabun mandi, dan pakaian juga ikut terdampak.

“Apakah deterjen dan sabun mandi masih tergolong barang murah?” Narasi pemerintah juga bertolak belakang dengan hal tersebut, selain itu kenaikan pajak sebesar 12% tidak akan memberikan kontribusi banyak terhadap penerimaan pajak, karena dampaknya terhadap masyarakat lemah. Konsumsi, perubahan dunia usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lainnya seperti “pajak penghasilan badan, PPh 21 dan pajak”, kata Bhima.

Kebijakan ini membawa kemungkinan kenaikan harga di tahun-tahun mendatang, sehingga meningkatkan tekanan perekonomian, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini akan menyebabkan terpuruknya kelas menengah menjadi kelas menengah yang rentan.

“Kementerian Keuangan sangat pandai memainkan kata-kata saat ini, seolah-olah pemerintahan saat ini dan DPR mendukung kebijakan pembangunan bahwa tidak ada pajak tambahan untuk semua barang kebutuhan pokok. PPN terus meningkat untuk seluruh barang yang dikonsumsi masyarakat kelas bawah. “, katanya.

Dikatakan tarif PPN yang diberlakukan berbeda terhadap jenis barang yang berbeda atau tarif pajak ganda tidak mempunyai kaitan hukum. Kebijakan ini dinilai melanggar undang-undang PPN, baik dalam HPP maupun undang-undang lainnya.

Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina Jakarta, menambahkan kenaikan pajak tambahan menjadi 12% masih jauh dari ideal, meski bisa dimaklumi. Anda melihatnya sebagai jaminan finansial untuk mendanai proyek-proyek strategis di tahun-tahun mendatang yang penuh tantangan.

Saya melihat dengan melihat kenaikan ini untuk melindungi kondisi keuangan kita, terutama untuk menghadapi kesulitan di tahun 2025 dan 2026, kata Wijayanto.

Namun, menaikkan tarif pajak tambahan saja tidak cukup untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Pemerintah harus memperbaiki tata kelola perusahaan (GCG) yang menyebabkan rendahnya tarif pajak akibat sempitnya perpajakan, maraknya korupsi di bidang perpajakan dan tidak adanya rasa hormat terhadap pajak.

Tonton video ‘Fakta kenaikan PPN 1 persen’:

(acd/acd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top