Menjamurnya Kosmetik dan Klinik Estetik Abal-abal

Jakarta-

Ria Agustina menjadi tersangka kasus praktik penipuan klinik kecantikan. Tersangka diperlihatkan menghadiri klinik dan merawat pasien tanpa izin praktik medis.

Tanpa pelatihan kedokteran, Ria lulus dari industri perikanan dengan mata kuliah estetika. Secara regulasi, jelas melanggar UU No. 17 Tahun 2023 memerlukan sertifikat kualifikasi dan registrasi dalam daftar kesehatan untuk menjalankan profesi ini. Sertifikasi estetika tambahan hanya dapat diberikan kepada dokter melalui kursus yang distandarisasi oleh Kementerian Kesehatan RI.

Bukan hanya perizinan praktis saja yang bermasalah. Belakangan, polisi menemukan obat dan kosmetik yang digunakan di klinik tersebut tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Kasus Ria sebenarnya hanya satu dari sekian banyak kasus perawatan kosmetik ilegal yang ditemukan pada tahun 2024. Ketua BPOM RI, Prof. Taruna Ikrar mengungkapkan, pada tahun lalu terdapat 267 klinik kecantikan di Indonesia atau memiliki produk yang tidak memenuhi ketentuan (TMK).

Laporan ini berdasarkan tes yang dilakukan di hampir seribu klinik kecantikan di Indonesia. Meski hasilnya justru menurun dibandingkan lima tahun sebelumnya, namun jumlah klinik yang diperiksa meningkat 20 kali lipat dibandingkan lima tahun sebelumnya.

Taruna menduga tren perawatan klinik kecantikan akan semakin populer setelah darurat kesehatan global COVID-19 diumumkan. Sejak itu, industri kecantikan berkembang pesat.

Hal ini menuntut BPOM untuk memperluas cakupan pengawasannya untuk menjamin keamanan dan mutu layanan klinis yang beroperasi di Indonesia, kata Taruna dalam keterangannya, Selasa (24/12/2024).

Pesatnya pertumbuhan bisnis kecantikan yang ditunjukkan Taruna sejalan dengan Beauty Consumer Behavior and Trend Report SOCO. Pertumbuhan produk atau merek lokal meningkat sebesar 49 persen dibandingkan tahun 2015.

Komposisinya setara dengan jumlah merek luar negeri. Permintaan pasar dan konsumen yang tinggi membuat banyak industri baru dapat bertahan.

Hal ini dikarenakan literasi masyarakat Indonesia dalam membeli produk kecantikan semakin meningkat, khususnya kelompok Milenial dan Generasi Z yang merupakan kelompok umur yang paling banyak mengikuti perkembangan produk kosmetik baru dibandingkan generasi lainnya.

Misalnya saja pada kategori perawatan tubuh, minat Gen Z untuk membeli tabir surya tubuh meningkat hingga 175%, dibandingkan dengan 106% di kalangan milenial. Sementara itu, pada kategori parfum, pembelian parfum di kalangan Gen Z meningkat 304% dibandingkan 160% di kalangan Milenial.

Demikian pula, Gen Z menyumbang 105% pembelian kosmetik seperti bantal, sedangkan Generasi Milenial “hanya” 59%.

Sayangnya, tidak semua kelompok masyarakat memiliki tingkat literasi yang tinggi mengenai kosmetik yang aman. Juga selain Pulau Jawa.

Peredaran dan penggunaan kosmetik dengan bahan berbahaya banyak terjadi di luar Pulau Jawa. Hal ini disebabkan rendahnya literasi terkait kosmetik yang aman dan akses yang lebih mudah.

Kosmetik yang dihasilkan menjadi ilegal. Bukan hanya produk yang diedarkan tanpa izin edar, tetapi juga produk yang disajikan sebagai tiruan atau palsu. Jika distribusi produk tidak jelas, tidak ada jaminan keamanannya.

“Selama enam tahun terakhir, temuan kosmetik ilegal menunjukkan tren perubahan. Pada tahun 2020, akibat perlambatan ekonomi dan pembatasan kerja di masa pandemi, jumlah temuan mengalami penurunan yang signifikan akibat pemulihan ekonomi dan penguatan pengendalian BPOM,” jelas Taruna.

Misalnya pada tahun 2023, BPOM RI akan menindak 72 kasus kosmetik ilegal dengan nilai ekonomi sebesar $30,4 miliar. Sementara itu, 76 lapangan pekerjaan dengan total nilai ekonomi 20 miliar telah teridentifikasi pada September 2024.

BPOM RI menyatakan berupaya mencegah penyebaran kosmetik ilegal. Sebab, dampak kosmetik ilegal memang tidak main-main.

“Penurunan nilai ekonomi ini menunjukkan upaya BPOM seperti Forum Nasional Pelaku Ekonomi, pameran kerja sama antarsektor, dan perjanjian industri kosmetik semakin efektif. produk ilegal.” Dampak kesehatan

Dampak peredaran kosmetik ilegal tidak hanya merugikan konsumen secara finansial, namun juga membahayakan kesehatan kulit.

Tya, perempuan asal Kalimantan Timur pun mengalami hal serupa. Tya menjadi viral setelah membagikan kisahnya menderita okronosis dengan mengunggahnya di TikTok. Ochronosis adalah suatu kondisi kulit yang ditandai dengan endapan pigmen biru yang disebabkan oleh penggunaan hidrokuinon dalam krim pemutih “palsu”.

Hampir seluruh bagian wajahnya “terbakar” setelah menggunakan kosmetik yang tidak berlisensi dan tersedia di pasaran. Saat itu, Tya mengaku membeli produk tersebut berdasarkan testimoni yang tertera di iklan penjualan.

Setelah beberapa minggu pemakaian, Tya mengalami perubahan drastis, sedangkan Tya memiliki kulit berwarna zaitun, tone atau warna wajah Tya menjadi sangat putih.

Terakhir, seorang wanita berusia tiga puluhan mengeluhkan efek samping jangka panjang setelah dua tahun penggunaan. Efek biru kehitaman di wajah saya muncul setelah setahun setelah saya berhenti menggunakan krim tersebut secara bertahap.

Pada Minggu (16/7/2023), ANBALI NEWSkoma mengatakan, “Sekitar setahun kemudian, kegelapan itu muncul dan perlahan mulai berhenti.”

Setahun setelah perawatan, ANBALI NEWSkom kembali menghubungi Tya dan melihat perubahan wajahnya. Kabar baiknya, warna kulit asli Taya perlahan kembali meski belum pulih sepenuhnya.

“Setahun lebih, saya hanya menjalani perawatan kulit oleh dokter dan hanya satu kali perawatan laser,” ujarnya kepada detektif, Selasa (24/12).

Karena kulitnya masih sensitif, dia tidak bisa melakukan banyak perawatan. Dokter Spesialis Kulit I Gusti Nyoman Darmaputra SpKK, SubspOBK, FINSDV, FAADV mengatakan, kondisi lain yang ditemui Tida adalah hiperpigmentasi pasca inflamasi. Peradangan pasca inflamasi seringkali disebabkan oleh iritasi akibat penggunaan krim saat terkena sinar matahari.

“Jadi bisa sangat gelap dan butuh waktu lama untuk sembuh,” jelas dr Darma.

Darma juga mengatakan, efek samping tambahan dari penggunaan krim tinggi hidrokuinon dan merkuri dapat berupa sakit kepala, pingsan, kejang, bahkan gagal ginjal.

“Itu bukan pemutih, tidak ada dokter atau siapa pun yang akan menggunakannya kecuali jika digunakan secara berlebihan,” katanya.

Krim seperti milik Tiana sebenarnya tidak sepenuhnya dilarang. BPOM RI memperbolehkan penggunaan kosmetik label biru jika diresepkan oleh dokter.

Tergantung pada kondisi masing-masing pasien, hanya dokter yang dapat meresepkan dosis atau kandungan yang tepat. Sayangnya peredaran kosmetik label biru tidak diatur dan sangat sulit dihilangkan.

Berkaca dari data yang tercatat pada 19 Februari hingga 23 Februari 2024, BPOM menemukan 51.791 produk kosmetik bernilai ekonomi Rp 2,8 miliar hanya dalam waktu lima hari, banyak di antaranya mengandung zat terlarang tanpa izin edar. dan kadaluarsa.

Peredaran kosmetik label biru yang tidak patuh sulit diberantas, dan beredar rumor adanya “mafia” perawatan kulit yang melibatkan oknum BPOM RI. Ketua BPOM RI saat itu pun sigap membantah spekulasi yang beredar di media sosial.

Tekad kami kepada BPOM RI, keputusan saya akan menyelesaikan semuanya tegak lurus aturan, kalau ada yang main-main, kami akan tindak kalau ada ‘orang dalam’, kata Taruna. Simak video “Video penyitaan Lamiela dan SVMY oleh BPOM, kosmetik ilegal penyebab kanker” (naf/up)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top