Jakarta –
Penerapan kenaikan PPN hingga 12% terus menuai pro dan kontra dari banyak kalangan. Komite Penghapusan Bahan Bakar Minyak Bertimbal (KPBB) menyarankan pemerintah menerapkan pajak karbon pada kendaraan dibandingkan menaikkan PPN.
Direktur Utama KPBB Ahmad Safrudin mengatakan pajak karbon khusus kendaraan bermotor bisa menjadi solusi terbaik sebagai sumber pendapatan baru pemerintah. Menurut dia, potensi penerimaan negara dari pajak khusus ini bisa mencapai Rp 92 triliun per tahun. Lebih tinggi dari kenaikan PPN menjadi 12%.
“Sebenarnya pemerintah punya potensi meraup sekitar Rp92 triliun dari cukai karbon kendaraan bermotor, angka yang sangat besar. Coba bandingkan, kalau kita mengandalkan kenaikan PPN 1%, paling tidak hanya Rp 67 miliar, yaitu sekitar Rp 25 miliar lebih,” jelas Ahmad dalam paparannya di kantor KPBB, Jakarta, Senin (30/12/2024).
Merujuk pemaparan Ahmad, standar karbon tahun 2020 untuk kendaraan roda dua seharusnya memiliki emisi karbon sebesar 85,43 gram per kilometer. Sedangkan kendaraan ringan (light-duty vehicle/LDVs) atau kendaraan multiguna (MVP) mengeluarkan emisi karbon sebesar 132,89 gram per kilometer dan kendaraan berat (HDV) sebesar 1.552 gram per kilometer.
“Jadi seiring berjalannya waktu kita akan memiliki teknologi kendaraan yang menghasilkan emisi karbon yang semakin ketat. Ini usulan yang sudah kami ajukan, meski sampai saat ini pemerintah belum menerimanya dengan alasan yang belum jelas,” jelasnya.
Dengan standar karbon tersebut, Ahmad menilai idealnya pemerintah bisa menerapkan kebijakan perpajakan terhadap karbon yang dihasilkan dari kendaraan bermotor. Artinya, kendaraan yang menghasilkan emisi karbon di atas batas tersebut, menurutnya, akan dikenakan cukai pada saat pembelian. Ahmad memperkirakan besaran cukainya sebesar Rp 2.240.000 per gram CO2 per kilometer.
“Ada retribusi dan bonus. Pajak adalah pajak tambahan yang harus dipungut atas benda-benda yang akan digunakan, dibeli atau dikonsumsi oleh masyarakat. Sedangkan kredit pajak merupakan semacam insentif yang diberikan kepada masyarakat jika masyarakat memenuhi kebutuhan tertentu. persyaratan dalam mengonsumsi barang tertentu “Syarat yang kami gunakan adalah standar karbon,” jelasnya.
Ia merangkum, ada kredit pajak bagi masyarakat yang membeli kendaraan bermotor yang mengeluarkan karbon lebih banyak dari standarnya. Semakin tinggi emisi karbon, semakin tinggi pula tarif cukainya. Kredit pajak, sebaliknya, adalah insentif atau pengurangan harga pembelian yang diberikan kepada masyarakat yang membeli kendaraan dengan emisi karbon lebih rendah dari biasanya.
Ahmad berasumsi rata-rata pengeluaran karbon kendaraan MVP di Indonesia sekitar 200 gram per kilometer, sehingga kelebihan karbonnya sekitar 82 gram per kilometer. Dengan demikian, besaran cukai yang terutang sekitar Rp 183 juta. Namun, Ahmad belum mempertimbangkan dampak usulan tersebut terhadap industri.
“Sehingga angka tersebut akan meningkatkan harga jual kendaraan. Dengan demikian, kendaraan dengan emisi tinggi akan lebih mahal. Sebaliknya, kendaraan rendah karbon seperti kendaraan listrik (EV) hanya memiliki rata-rata emisi tahunan. .kisaran 50 hingga 60″ gram per kilometer. Jadi ada selisih sekitar 58 gram emisi karbon di bawah standar dikalikan Rp 2.240.000, sehingga angka tersebut akan menurunkan harga jual kendaraan listrik tersebut, ”jelas Ahmad.
Soal pendapatan negara, Ahmad mengatakan penjualan kendaraan roda empat di dalam negeri berkisar satu juta unit, sedangkan sepeda motor sekitar 6,2 juta unit setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, Ahmad memperkirakan potensi penerimaan negara dari cukai karbon berada pada kisaran Rp 92 triliun.
“Selain itu, efek penghematan bahan bakar minyak nasional (BBM) juga sangat efektif. Misalnya, jika kebijakan tersebut diterapkan pada tahun 2030, maka emisi karbon akan berkurang sebesar 59%, jauh lebih besar dari Target Kontribusi yang Ditetapkan pada saat itu. Tingkat nasional (NDC), janji kita kepada PBB untuk mengatasi masalah perubahan iklim hanya 41%,” imbuhnya.
Lebih lanjut Ahmad menjelaskan, jika pajak karbon khusus ini diterapkan, maka negara bisa menghemat 59 juta kiloliter bahan bakar dan 56 juta kiloliter solar pada tahun 2030. Artinya, menurut Ahmad, pemerintah bisa mengurangi beban pasokan bahan bakar.
“Jumlah tersebut setara dengan nilai rupiah sebesar Rp 677 triliun, tentunya merupakan angka yang sangat besar. Jadi tidak hanya dalam rangka pengurangan emisi karbon, tetapi juga menciptakan peluang pendapatan baru bagi pemerintah, sekaligus mengurangi beban. pada pemerintah untuk menjamin pasokan bahan bakar,” tegasnya.
Saksikan juga video “MKGR Sebut Prabowo Tak Tinggal Diam Jika PPN 12% Memungut Masyarakat”:
(fdl/fdl)