Jakarta-
Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% mulai tahun 2025 menuai gelombang penolakan dari masyarakat luas. Bahkan, terjadi demonstrasi dan petisi di tengah masyarakat yang ditandatangani oleh sekitar 200 ribu orang yang menolak kebijakan tersebut.
Sebaliknya, naik dari 12% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Banyak fraksi yang mulai mendorong pembatalan kenaikan PPN. Direktur Hukum Center for Economic and Legal Studies (Celios) Mhd Zakiul Fikri mengatakan pemerintah harus bisa memperkirakan kenaikan PPN di tengah derasnya penolakan yang terjadi.
Hal ini juga mengungkapkan kemungkinan penyesuaian tarif PPN ke tingkat yang lebih rendah. Pertama, pada Bab IV UU HPP disebutkan adanya perubahan pada Pasal 7 ayat 3 UU PPN yang menyatakan dapat dinaikkan menjadi 5% atau kenaikan PPN sekurang-kurangnya 15%.
Namun Zakiul menilai, opsi yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) tersebut dapat menimbulkan kerancuan hukum atau rechtsverwarring karena aturan dalam ayat tersebut tidak jelas dan tidak jelas mengenai barometer definisi dari 5% menjadi 15%.
Selanjutnya, pelaksanaan ketentuan Pasal 7 ayat 4 harus dilakukan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sesuai Pasal 7. Prosesnya panjang, panjang, dan sulit, batas waktunya Januari 2025. Hanya tinggal menunggu waktu. tinggal beberapa hari lagi.
“Tidak mungkin menurunkan tarif atau sekadar menunda kenaikan PPN, karena kenyataannya mereka akan fokus pada penerapan peraturan Pasal 7(1), sebuah alasan yang terus digunakan media,” tulis Zakiul. dalam bukunya. pengumuman, Rabu (25/12/2024).
Untuk itu, Zakiul mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto mendorong inisiasi Administrasi Negara pengganti Undang-Undang (Perppu) kenaikan PPN pada UU HPP. Meski demikian, ia menilai kehadiran Perppu dalam politik hukum Indonesia selama 10 tahun terakhir bukanlah hal yang langka.
“Pada masa pemerintahan Presiden sebelumnya, ada 8 jenis Perppu yang diterbitkan dengan berbagai alasan,” kata Zakiul.
Salah satunya adalah Perppu n. 1 tahun 2017 tentang manfaat pajak. Perppu ini dibuat untuk mengakomodir rencana pembebasan pajak atau tax exemption yang dinikmati oleh kelompok kaya, bahkan pengungsi. Aturan ini dikeluarkan oleh presiden ketujuh Joko Widodo (Jokowi).
Meski Jokowi berani mengeluarkan Perppu untuk memenuhi kebutuhan orang-orang kaya, Zakiul yakin sudah waktunya bagi Prabowo untuk melakukan hal sebaliknya. Prabowo bisa menerbitkan Perppu yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat luas, khususnya masyarakat menengah dan miskin yang terdampak kenaikan PPN.
“Maka kini saatnya Prabowo keluar dari bayang-bayang Jokowi dengan mengeluarkan Perppu yang membatalkan kenaikan PPN 12% dalam UUHPP dan saatnya membela masyarakat menengah ke bawah yang menderita “berbagai kesulitan ekonomi,” kata Zakiul.
Zakiul berpendapat setidaknya ada tiga alasan mengapa Perppu harus diterbitkan untuk mencabut kenaikan PPN menjadi 12%. Pertama, kenaikan PPN menimbulkan permasalahan hukum yang perlu segera diselesaikan. Permasalahan hukum tersebut mulai dari inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa, berkurangnya kapasitas konsumsi keluarga kelas menengah ke bawah, meningkatnya angka pengangguran, tekanan terhadap UMKM, manufaktur dan potensi peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Kedua, keberadaan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Bab IV Pasal 4 Angka 2 UU HPP 2021 tidak cukup karena tidak adanya keadilan dan keadilan. Ketiga, mengatasi keadaan saat ini dengan membuat atau mengubah undang-undang dengan cara konvensional tidak mungkin dilakukan, mengingat akan memakan waktu lama jika keadaan mendesak.
Situasinya mendesak karena mulai 1 Januari 2025 pemberlakuan aturan mengganggu sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1 bab IV pasal 4 angka 2 UU HPP Tahun 2021 harus dilaksanakan. Sementara Perpres RI sudah diisolir sejak Desember. 6 Januari 2024 hingga 15 Januari 2025 sehingga tidak bisa dikatakan “Bagaimana kalau masalah ini segera dibahas,” pungkas Zakiul.
Zakiul tak hanya menyarankan agar Prabowo menerbitkan Perppu pembatalan kebijakan PPN 12%, namun mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo juga mengusulkannya.
Hadi mendesak pemerintah tidak hanya menunda tetapi juga membalikkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Dia menyarankan agar PPN bisa kembali menjadi 10%. Menurut dia, pemerintah bisa menerbitkan Peraturan (Perppu) untuk menghapuskan tarif pajak 12% dalam UU HPP.
“Penerbitan Perppu ini dimungkinkan untuk mencegah kenaikan tarif PPN. Karena sudah diatur dalam UU HPP,” kata Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2009 hingga 2014, Hadi, dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/12). /02/2024).
Berdasarkan data RAPBN 2025, ketergantungan terhadap PPN yang mencapai 43,2% dari total pajak juga menjadi perhatian. Ia menekankan, kebijakan perpajakan harus melindungi daya beli masyarakat awam dan mendorong kesetaraan.
“Mengandalkan PPN sebagai sumber pendapatan akan membebani masyarakat kecil yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi,” kata Hadi.
Tonton videonya: Apa saja kemungkinan penghapusan PPN 12%?
(p/r)