Omzet Pedagang Pasar Slipi Kian Menipis, Buka Toko Cuma Bikin Rugi

Jakarta –

Pasar Slipi merupakan salah satu pasar legendaris yang ada di kawasan Jakarta Barat. Sayangnya, saat ini tidak ada pembeli atau pedagang di kawasan komersial tersebut sehingga terkesan seperti pasar mati.

Elizon, satu-satunya penjual sepatu dan tas yang tersisa di Pasar Slipi, mengatakan sepinya pengunjung pasar ini sebenarnya dimulai beberapa tahun lalu ketika virus corona melanda Indonesia pada tahun 2020. Namun, kondisi pasar semakin memburuk setelah pandemi.

Pria yang bertransaksi di kawasan tersebut sejak tahun 1988, kepada ANBALI NEWS, Senin (30/12/2024), mengatakan, “Sebelum adanya Covid-19, sebenarnya kondisi pasar sudah mulai tenang, namun dengan adanya Covid-19… keadaannya menjadi lebih buruk setelah itu. “

“Keseharian sekarang sepi. Akhir tahun dan lebaran pun sepi. Sudah bertahun-tahun Idul Fitri sepi,” tambah Elizon.

Ia mengatakan, kekurangan wisatawan ini akan terus berlanjut bahkan setelah pandemi berakhir. Tak ayal, persaingan toko online membuat pasar yang tadinya sepi semakin sepi pengunjung. Akibat minimnya pengunjung tersebut, Elizon mengakui penjualannya turun lebih dari 60% dibandingkan sebelum pandemi.

“(Penjualan) turun 60%, bahkan mungkin lebih,” ujarnya.

Beruntungnya, retailer sepatu dan tas Erizon masih memiliki banyak pembeli saat musim kembali ke sekolah tiba. Karena toko ini menerima pembayaran dari Kartu Jakarta Pintar atau KJP yang tidak bisa digunakan untuk pembelian online.

“Enaknya kalau mau sekolah, karena bisa gesek kartu dan bayar dengan KJP, yang memang tujuannya untuk membeli keperluan sekolah ya (apakah penerima KJP satu-satunya pembeli?) Ya sebagian besar,” ungkapnya. Dia.

Elizon mengakui bahwa selama musim sekolah, meskipun membantu penjualan toko, dia hanya melihat sedikit pembeli setiap hari. Saya tidak hanya harus membayar sewa toko dan biaya hidup, tetapi saya juga harus membayar tagihan dan listrik setiap bulannya.

Pada akhirnya, untuk tetap membuka toko di Pasar Slipi, mereka harus mengeluarkan biaya yang jauh melebihi keuntungan atau kerugiannya. Elizon mengakui bahwa dia mungkin sudah lama menutup tokonya jika bukan karena bisnisnya yang lain, namun dia menolak menjelaskan lebih lanjut.

“Ya, ini akan sangat buruk jika tidak ada perusahaan lain di belakangnya yang mendukung hal ini. Kalau tidak, ini akan terus berlanjut. Setiap hari mereka memakan sepatu saya, mereka memakan tas dan sandal saya,” kata Elizon.

“Jadi kalau dihitung-hitung, toko ini malah rugi, bukannya untung. Setiap karyawan saya untung, mereka hanya membayar iuran,” jelasnya lagi.

Menurut dia, kondisi tersebut tidak hanya terjadi di tokonya, tapi hampir di seluruh pedagang di Pasar Slipi. Hal ini terlihat dari banyaknya pedagang yang gulung tikar atau bangkrut.

“Sebelum pandemi, hanya 10 hingga 15 persen toko yang tutup yang tidak berjualan. Sekarang, 45 persen toko yang buka tutup,” jelas Elizon.

“Ini (bekas toko Elizon) dulunya milik bos saya, saat kami mulai berjualan pada tahun 1988-1989, tapi sekarang sudah tidak buka lagi dan kami tidak punya listrik. Tadinya ada 8 orang yang berjualan sepatu. tas, saya hanya punya 3 toko sekarang, jelasnya lagi.

Senada dengan Elizon, Uyusu, pedagang pakaian di Pasar Slipi, mengatakan pasar mulai sepi pengunjung bahkan sebelum pandemi. Namun, situasi ini memburuk pada tahun 2020 ketika pandemi dimulai.

Kami juga merasakan pasar semakin sepi karena persaingan dari toko online. Belum lagi lokasi pasar yang menurutnya dikelilingi banyak wisma sehingga menurunkan daya beli dan keinginan masyarakat sekitar untuk berbelanja di pasar.

“Di sekitar sini banyak warga yang tanahnya dijual dan tidak ada lagi penduduk asli yang tinggal di sini. Warganya banyak sekali sehingga warga tidak bisa berbelanja,” kata Uyusu.

Ia sudah berjualan di kawasan pasar ini sejak akhir tahun 1990-an dan mengatakan produknya belum tentu laku setiap hari. Oleh karena itu, rata-rata keuntungan yang diperolehnya hanya cukup untuk membayar biaya pasar.

“Saya tidak bisa bilang (penjualan) turun, buat jajanan sehari-hari saja susah. Artinya, kalau belanja itu seperti memberi uang jajan ke anak. Kalau berjualan, hanya dapat sepeser pun.” Membuatnya sulit untuk dijual,” jelasnya.

Saya minta untung 5.000 rupiah, tapi dia tidak mau, jadi dia langsung pergi. Dua botol ini saya jual. “60.000, itu milik saya harga modal , tapi akhirnya saya jual dengan harga “Rp.”Saya tidak mau ambil 65.000 untuk mendapat untung 5.000, katanya lagi dengan nada lemah.

Untungnya, karena dia memiliki toko sendiri, dia hanya perlu membayar biaya pasar dan tidak perlu membayar sewa lainnya. Selain itu, ia juga memiliki langganan menjahit yang memberinya penghasilan tambahan untuk bertahan di pasar penggilingan.

Kami orang pasar tidak bisa bertahan. Kalau kami tidak menerima pekerjaan menjahit atau ada yang minta payet, tidak mungkin bisa ditutupi. jadilah”, katanya.

“Sekarang masyarakat tidak mampu bayar toko, bayar CMS (biaya pemasaran). Toko kecil tidak perlu khawatir. Yang besar saja sudah gulung tikar,” kata Uyus.

Saksikan juga video “Ketahanan Pangan Desa Menjadi Program Prioritas PDT Kementerian Desa”.

(fdl/fdl)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top