Menuju Wisata Ramah Disabilitas: Memangkas Ketimpangan Data dan Realitas

Jakarta –

Peningkatan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas merupakan salah satu fokus pengembangan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Namun tantangan terbesarnya adalah kurangnya fasilitas yang sesuai bagi penyandang disabilitas di berbagai kawasan wisata.

Situasi ini memperkuat kebutuhan akan statistik terperinci dan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebutuhan disabilitas sebagai dasar kebijakan dan implementasi di lapangan.

Direktur Statistik Kesejahteraan BPS Ahmad Avenzora menjelaskan survei terkait disabilitas mengacu pada sistem Washington Group, sistem ini mengukur tingkat kesulitan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

“Dalam Susenas, pertanyaan-pertanyaan diajukan mengenai disabilitas. Jangan lupa kalau di Susenas sistemnya berasal dari Washington Group, bukan dari UU 8 Tahun 2016 yang mana ada lima jenis disabilitas kalau tidak salah lima atau jenis saya,” kata Ahmad saat diwawancarai tim ANBALI NEWSTravel, di Senin (9/12/2024).

Fokus utama dari jenis disabilitas ini adalah pada orang-orang yang sangat atau tidak mampu melakukan aktivitas tertentu. Berdasarkan data Lembaga Kajian Ekonomi Nasional (Susenas), kelompok lanjut usia (60 tahun ke atas) mempunyai jumlah penyandang disabilitas terbanyak.

Sebaliknya, terendah terdapat pada kelompok anak usia 5-15 tahun. Penelitian Qiao (2022) juga menemukan bahwa kelemahan fisik pada lansia berkontribusi signifikan terhadap prevalensi disabilitas pada kelompok ini.

Menariknya, data menunjukkan bahwa pada kelompok usia subur (16-30 dan 31-59 tahun), angka kecacatan pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun keadaan berbeda terjadi pada kelompok lanjut usia yang mayoritas perempuan lebih tinggi. Hal ini setara dengan jumlah lansia perempuan yang lebih tua dibandingkan lansia laki-laki, yakni 51,81 persen berbanding 48,19 persen.

Data disabilitas dari Susenas tersedia dari tahun 2017-2018. Namun, Ahmad mengatakan penelitian ini tidak mengungkap secara langsung angka atau jumlah penyandang disabilitas.

“Bahkan Susenas, meski diminta disabilitas dari 2017-2018, tapi dia tidak memberi banyak, tidak memberikan nomor. Nah, RSE-nya masih banyak, untuk disabilitas,” kata Ahmad.

Selain itu, terlihat bahwa sampel pada sensus lebih besar dibandingkan sampel Susenas. Dengan jumlah sampel sebanyak 4,3 juta rumah tangga, data sensus memberikan gambaran yang lebih lengkap.

“Apalagi kalau akan dimekarkan di tingkat provinsi, apalagi di tingkat kabupaten. Jadi, dalam jangka panjang, sensus tersebut mempunyai jumlah sampel sebesar 4,3. Dengan 4,3 juta, Sousenas mungkin hanya punya 345 ribu. pulang,” kata Ahmed.

Namun, Ahmad menjelaskan tantangan pengumpulan informasi penyandang disabilitas di tingkat provinsi bahkan kabupaten. Kekurangan ini menyebabkan kegagalan dalam merumuskan kebijakan berbasis data untuk beberapa sektor.

Padahal, akses bagi penyandang disabilitas harus dirancang sesuai kebutuhan lokal. Dengan adanya informasi mengenai penyandang disabilitas, kami berharap pemerintah dapat menata beberapa tempat wisata.

Fasilitas seperti jalur kursi roda, kamar mandi yang dapat diakses serta pemandu wisata terlatih yang memahami kebutuhan penyandang disabilitas menjadi prioritas untuk menciptakan pengalaman wisata yang ramah bagi semua kalangan. Pengembangan resor ramah disabilitas tidak hanya meningkatkan potensi Indonesia sebagai tujuan wisata global, namun juga menunjukkan komitmen negara terhadap kesetaraan sosial.

Saksikan video “Dengarkan suasana berbeda saat memainkan Pandora Experience di Bandung” (fem/fem)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top