Jakarta —
Badan Pusat Statistik (BPS) belum memiliki data rinci mengenai destinasi wisata ramah disabilitas. Kemungkinan umum disebutkan.
Saat ini BPS mendata keseluruhan fasilitas suatu objek wisata (ODTW). Misalnya, berdasarkan statistik yang dipublikasikan pada tahun 2021, sekitar 47,09 persen pelaku usaha ODTW menyediakan panduan objek wisata, sementara 44,95 persen menerapkan pembatasan jumlah pengunjung untuk mengatur kerumunan. Jasa pemandu wisata yang terdaftar sebesar 36,64%, toko cinderamata atau kios hanya 35,51%, dan asuransi pariwisata hanya 28,68%.
Keberadaan fasilitas tersebut masuk dalam data BPS karena dinilai sangat penting dalam menunjang kenyamanan, kemudahan, dan keamanan wisatawan. Karena tempat yang memadai juga menjadi daya tarik tambahan bagi wisatawan, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan pengalaman wisata dan kepuasan pengunjung. Hal ini meningkatkan tingkat kunjungan ke tempat wisata tersebut.
Direktur Statistik Kesejahteraan Masyarakat dan Statistik Keuangan, Teknologi Informasi dan Pariwisata Harmavati Marheni menjelaskan, statistik pariwisata diterbitkan setiap tahunnya.
“Kami menyediakan data jumlah tempat wisata di setiap kategori, pendapatan, pengeluaran, dan jumlah tiket yang terjual. Data ini penting untuk menghitung produk domestik bruto (PDB) dan produk domestik regional bruto (PDRB),” kata Harmavati kepada ANBALI NEWSTravel , Senin (9). /12/2024).
BPS membagi atraksi wisata menjadi beberapa kategori utama, antara lain alam, budaya, buatan, dan lain-lain. Berdasarkan nomenklatur resmi Kementerian Pariwisata. Daya tarik wisata yang masuk dalam survei adalah daya tarik wisata yang memiliki tiket masuk sehingga aspek komersialnya dapat diukur secara akurat.
Selain aspek ekonomi, BPS juga menyoroti keberlanjutan pariwisata dengan mempublikasikan informasi penggunaan sistem ramah lingkungan, pengelolaan sampah 3R (umum, penggunaan kembali, daur ulang) dan ketersediaan air bersih di fasilitas wisata.
Kita belum memiliki data wisata ramah disabilitas karena belum ada sertifikasi ramah disabilitas sehingga belum ada indikator pasti apakah suatu objek wisata cocok untuk penyandang disabilitas.
“Sertifikasi ramah disabilitas itu masih belum terpisah. Mungkin itu bagian dari sertifikasi umum, jadi yang jadi pertanyaan di lapangan apakah sudah punya sertifikat dan sertifikasi apa saja yang disertakan. Tapi kami tidak melanggar sertifikasi ramah disabilitas,” kata Harmavati.
Pariwisata ramah penyandang disabilitas juga menjadi visi baru BPS. Lebih lanjut Harmavati menambahkan, ke depan BPS akan fokus pada pendataan terkait fasilitas ramah disabilitas di fasilitas wisata.
“Fasilitas ramah disabilitas belum ada datanya. Ini sebenarnya perspektif baru yang harus kita masukkan. Kemarin kita masih fokus pada lingkungan, lalu IT dan sertifikasi. Kalau pariwisata yang terkait dengan wisata halal, biasanya di hotel. atau restoran,” kata Harmavati.
Dengan fokus yang lebih besar pada inklusi dan keberlanjutan, industri pariwisata Indonesia dapat tumbuh lebih baik lagi. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pengalaman pariwisata dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Saksikan video “Video BPS DKI Jakarta: Jumlah Penumpang MRT Naik Jadi 36 Juta di 2024” (fem/fem)