Jakarta –
Fenomena efek lipstik kini marak terjadi di kalangan kelas menengah. Fenomena ini ditandai dengan masyarakat yang terus menggunakan uangnya untuk membeli produk secara impulsif seperti kosmetik, produk perawatan kecantikan, dan lain-lain.
Bhim Yudhishthir, direktur eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS), mengatakan fenomena efek lipstik menunjukkan tanda-tanda buruk bagi perekonomian.
“Efek lipstik sebenarnya merupakan indikator buruk bagi industri secara keseluruhan. Bagi industri kosmetik, ini merupakan peluang. Namun bagi industri lain, jika masyarakat membeli kosmetik secara impulsif, berarti mereka mengurangi pembelian produk lain,” Bhime ungkapnya kepada ANBALI NEWS, Sabtu (4/1/2025).
Bhim melanjutkan, Ketimbang menghabiskan waktu luang, transportasi, dan akomodasi lainnya, masyarakat justru lebih memilih berdiam diri di rumah dan menghibur diri dengan membeli barang-barang kecil untuk mencari momen pelarian. Bhim mengatakan kejadian ini juga karena peran media sosial.
“Gaya hidup selfie adalah tentang bersenang-senang, juga tentang mendapatkan pengakuan sosial. Namun jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, itulah sebabnya banyak penelitian tentang efek lipstik menunjukkan bahwa kondisi makroekonomi mengarah pada resesi. . Atau Pengurangan konsumsi di berbagai sektor, katanya.
Sebagian besar orang yang terlibat dalam fenomena efek lipstik adalah kelas menengah, karena mereka tidak mampu mengakses “pelarian” yang lebih mewah.
“Paling mudah beli skin care. Skin care itu belum dijual, saya masih disuruh coba merek baru. Bukan berarti harus mengeluarkan banyak uang, karena sebagian dibiayai dari gaji nanti. sudah selesai,” tambah Bhima.
Senada dengan itu, Tauhid Ahmad, peneliti senior dan direktur eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) berpendapat bahwa pengaruh lipstik pada sektor perekonomian juga berdampak pada kesulitan keuangan.
“Saat kita menghadapi kendala finansial, tapi keinginan untuk membeli masih ada, masyarakat tetap menggunakan produk mewah sebagai kedok,” jelas Tauhid saat dihubungi DTCOM.
Dari sudut pandang ekonomi, dampak dari fenomena ini mempunyai sisi positif. Sebab, kata Tauhid, masyarakat masih ingin berbelanja.
“Bagi perekonomian, efek lipstik ini positif, karena selalu ada keinginan untuk mengeluarkan uang lebih dari apapun. Artinya mereka benar-benar membeli barang-barang mewah, bukan sekedar pelarian,” imbuhnya.
Secara terpisah, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Bapak Rizal Taufiqurahman juga mengatakan bahwa dampak lipstik dapat menopang perputaran perekonomian di beberapa sektor seperti kosmetik dan makanan ringan, meskipun dampaknya terhadap perekonomian belum jelas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan rata-rata pengeluaran per kapita pada tahun 2024, mencatat peningkatan pengeluaran pangan sebesar 5,69%, mencerminkan peningkatan konsumsi barang-barang non-esensial.
Namun jika perilaku tersebut tidak diimbangi dengan literasi keuangan, maka risiko alokasi anggaran yang tidak produktif akan mengancam stabilitas keuangan individu dan daya beli masyarakat secara keseluruhan, tambah Rizal dalam DTCOM.
Lebih lanjut Rizal menyatakan, fenomena ini lebih banyak dirasakan oleh masyarakat kelas menengah. Meski pendapatannya mencukupi, Rizal mengatakan tekanan ekonomi kerap dirasakan oleh masyarakat kelas menengah dan kerap mencari kepuasan instan melalui konsumsi.
Lebih lanjut Rizal menjelaskan, generasi muda memegang peranan penting dalam fenomena ini, terutama dengan preferensi mereka terhadap produk-produk terjangkau yang menawarkan kepuasan cepat.
“Namun, perilaku konsumsi yang tidak terencana dapat menguras tabungan dan menimbulkan hutang, sehingga berpotensi menimbulkan masalah keuangan di masa depan. Pemerintah hendaknya mendorong pendidikan keuangan, mendorong konsumsi produktif, dan memastikan kebijakan ekonomi yang mendukung daya beli masyarakat secara berkelanjutan. tegas Rizal. (ed./ed.)