Terungkap! Ada Pagar 30,16 Km di Laut Tangerang

Jakarta –

Pagar laut sepanjang 30,16 km di sepanjang pesisir Kabupaten Tangerang menarik perhatian pemerintah, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (MPF). Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten masih mendalami masalah tersebut karena diduga mengganggu aktivitas nelayan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti mengatakan, pagar tersebut membentang dari Desa Muncung hingga Desa Paku Haji di perairan wilayah Tangerang. Eli menjelaskan, struktur taman laut ini terbuat dari bambu atau ceruk, dan rata-rata tingginya 6 meter. Bagian atasnya terdapat anyaman bambu, dilengkapi paranet dan pemberat berupa karung berisi pasir.

“Panjang 30,16 km ini meliputi 6 kelurahan, tiga desa di Kecamatan Kronjo, kemudian tiga desa di Kecamatan Kemir, empat desa di Kecamatan Mauki, satu desa di Kecamatan Sukadir dan tiga desa di Kecamatan Pakuhaji serta dua desa di Kecamatan Teluknaga,” kata Eli, Selasa (7/1/2025) dalam rapat dengar pendapat di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta.

Terdapat 6 kecamatan dengan 16 desa yang tersebar di seluruh wilayah ini, kata Eli, terdapat masyarakat pesisir yang bermata pencaharian sebagai nelayan, tersebar sekitar 3.888 nelayan dan 502 petani. Eli pun menjelaskan kronologi taman tersebut.

Awalnya Eli mendapat laporan dari masyarakat tentang adanya pembangunan pagar di sepanjang pantai Tangerang pada 14 Agustus lalu. Lima hari kemudian, dia langsung menuju lokasi bersama timnya. Saat itu, dia mengaku sedang menunjuk tembok laut sepanjang 7 km.

Pada 4-5 September 2024, tim gabungan DKP bersama polisi khusus pengendalian sumber daya laut dan ikan (PSDKP) kembali ke lokasi. Tim gabungan ini dibagi menjadi dua tim, tim pertama menyelidiki pagar di tepi laut dan tim kedua melakukan pembicaraan dengan pemerintah setempat.

“Jadi tanggal 5 September kami bagi menjadi dua tim, satu tim terjun langsung ke lokasi kejadian, dan tim lainnya berkoordinasi dengan Camat dan Lurah Marga Mulia serta Lurah Mauk. Informasi yang kami terima, tidak ada rekomendasi atau izin baik dari camat maupun pihak desa, kemudian tidak ada keluhan dari masyarakat mengenai anggaran tersebut,” tambah Eli.

Eli menambahkan, kliennya melakukan pemeriksaan langsung di lapangan sebanyak empat kali. Bahkan, ia juga menjalin kerja sama dengan instansi lain seperti Pangkalan TNI Angkatan Laut Banten, Satuan Polres Tangerang, Satuan Kepolisian Daerah Provinsi (Pol PP) Banten, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Banten, Kanwil Banten. Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pangkalan Jakarta, Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang dan Persatuan Perikanan Indonesia (HNSI). Saat itu, dia meminta agar kegiatan tersebut dihentikan.

Terakhir kita lakukan sidak bersama TNI Angkatan Laut, Polairud, lalu PSDKP, PUPR, SATPOL PP, lalu Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang, kita lakukan sidak bersama di sana, dan panjang lautnya mencapai 13,12 km. jaraknya 30 km,” jelas Eli.

Sementara itu, Presiden Himpunan Profesi Pengelola Pesisir Indonesia (HAPPI) Rasman Manafi mengatakan pemanfaatan ruang laut lebih memerlukan izin seperti izin lingkungan atau izin kecukupan kegiatan pemanfaatan ruang. Jika tidak ada izin tersebut, menurut Rasman, ada dugaan penyimpangan.

Menurut Rasman, banyak permintaan masyarakat terkait kasus ini, mulai dari pertimbangan lingkungan hingga akses bagi para pemancing. Ia juga menjelaskan hal tersebut dapat merugikan nelayan.

“Saya kira banyak sekali tuntutan masyarakat, dalam hal ini banyak sekali keluhan masyarakat. Kita bisa lihat dari lingkungan, akses masyarakat, keselamatan dan keamanan karena belum ada saluran yang pasti untuk itu. Jauh, saya dengar, kini bahkan sudah mencapai jarak 33 km dari pembahasan awal, kata Rusman.

Menurut Rusman, setidaknya menurut HAPPI, ada indikasi kejanggalan. Ia menilai hal tersebut melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 31 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nomor. 27 Tahun 2007.

“Dan itu yang kami di HAPI pikirkan, kalau memang sampai sejauh itu, kami pikir musim gugur harus dimasukkan, bukan hanya soal tata ruang. Bisa saja lingkungannya tercemar, akses publik sudah ditutup, atau penggunaan sumber daya alam bagi nelayan kita di negeri ini,” imbuhnya.

Saksikan juga video “Pantai Candidasa tercemar tumpahan minyak, wisatawan ingin check-out lebih awal”:

(acd/acd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top