Jakarta –
Jumlah karyawan yang mengajukan cuti sakit di Jerman terus meningkat dari tahun ke tahun. Permasalahannya adalah karena pekerja yang terkena dampak sakit, maka seluruh cuti sakit tidak diambil dengan benar, sehingga menurunkan kinerja perekonomian negara.
Pada Kamis (1/1/2025), dikutip dari situs resmi Badan Statistik Federal Jerman, di negara terkaya di Eropa itu, karyawan yang mengajukan cuti sakit berhak mendapatkan gaji penuh terus menerus dari majikannya. Hak-hak ini biasanya dibatasi hingga enam minggu per tahun.
Pekerja di Jerman rata-rata akan mengambil cuti sakit selama 15,1 hari sepanjang tahun 2023, menurut hasil studi yang dilakukan oleh Statistical Institute. Angka tersebut meningkat sekitar 4 hari kerja dibandingkan rata-rata cuti sakit pada tahun 2021. 11,1 hari.
Ketika survei ini dihitung, hanya permintaan cuti yang melebihi periode ketidakhadiran dari pengumpulan data yang dipertimbangkan. Oleh karena itu, rata-rata jumlah hari cuti sakit yang diklaim oleh para pekerja Jerman ini lebih tinggi.
Tidak hanya durasinya, proporsi pekerja yang meminta cuti pun meningkat. Pada tahun 2023, rata-rata pekerja Jerman yang mengambil cuti sakit mencapai 6,1%. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2006 yang jumlah permohonan cuti sakit mencapai titik terendah yakni 3,3%.
Sementara itu, France24 melaporkan, menurut data OECD, pekerja Jerman akan kehilangan rata-rata 6,8% waktu kerja karena sakit pada tahun 2023. Angka ini jauh lebih buruk dibandingkan negara UE lainnya seperti Prancis, Italia, atau Spanyol.
“Dampaknya signifikan dan tentunya mempengaruhi aktivitas perekonomian,” kata Klaus Michelsen, kepala ekonom di Asosiasi Perusahaan Farmasi Jerman yang berbasis penelitian.
Menurutnya, tren ini membebani perekonomian Jerman, mulai dari perlambatan manufaktur hingga lemahnya permintaan ekspor. Akibatnya, Asosiasi Perusahaan Farmasi, yang dipimpin oleh Michaelsen, menghitung bahwa pada tahun 2023, tingginya tingkat ketidakhadiran karena sakit akan mengurangi produksi Jerman sebesar 0,8%. Bisnis pemotongan cuti sakit di Jerman sedang booming.
Meningkatnya jumlah daun yang terserang penyakit bisa menjadi berita buruk bagi perusahaan-perusahaan Jerman, apalagi saat ini situasi ekonomi di negara terkaya di Eropa tersebut sedang memburuk. Namun, hal itu tidak masalah bagi penyelidik swasta Marcus Lentz, yang menyelidiki beberapa klaim pengangguran palsu.
Detektif Lentz mengatakan bahwa dalam banyak kasus ketika seorang pekerja berpura-pura sakit untuk jangka waktu yang lama, mereka sebenarnya sedang bekerja sambilan. Ia mencontohkan seorang pekerja yang membantu istrinya menjalankan usaha saat sedang berlibur. Lalu ada pekerja yang mengambil cuti panjang untuk merenovasi propertinya.
Meski menyewa detektif swasta seperti dia sangat mahal, Lentz mengatakan masih banyak perusahaan yang menyewa jasanya. Sebab dari sudut pandang perusahaan, pekerja yang sering meminta cuti sakit justru lebih tidak efektif dan justru bisa menimbulkan kerugian finansial yang lebih besar.
“Mereka (perusahaan), biasanya yang mengambil cuti sakit, tidak menghasilkan uang bagi kami, mereka (kebanyakan pekerja yang mengajukan cuti fiktif) harus pergi,” ujarnya.
Bahkan agen detektif swastanya, Lentz Group, menerima 1.200 permintaan setiap tahun untuk menyelidiki permohonan cuti fiktif. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
“Jika seseorang mendapat libur 30, 40, atau terkadang 100 hari dalam setahun, suatu saat hal itu menjadi tidak menarik secara ekonomi bagi pemberi kerja,” tutupnya.
Tonton juga video “Penggunaan AI Meningkat, TikTok PHK Ratusan Karyawan”:
(fdl/fdl)