Hitungan Transisi PPN 12% Dikritik DPR

Jakarta –

Presiden Prabowo mengatakan kenaikan pajak pertambahan nilai dari 11 persen menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah. Kebijakan tersebut resmi berlaku mulai 1 Januari 2025.

Ketua komisi juga menetapkan basis terpasang pada tingkat yang berbeda yaitu 11/12.

Anehnya, tatanan yang jelas ini tidak bisa dimaknai dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sehingga aturan pelaksanaan dalam PMK tersebut sangat simpang siur dan dijadikan dasar untuk menimbulkan kesimpangsiuran dalam penerapannya. Dengan nilai yang berbeda dengan 11/12 “Ada penafsiran jika UU HE tidak bisa menerapkan tarif pajak multi rate,” ujarnya, Jumat. (1/3/2025) katanya dalam keterangannya.

Menurut dia, Pasal 7 UU Harmonisasi Perpajakan tidak melarang tarif PPN ganda, jadi tarif PPN tunggal sebesar 11% dan PPN 12%. Namun peraturan yang diterbitkan masih membingungkan.

Namun ketika PMK 131 menggunakan kata dasar lain untuk dijadikan dasar penghitungan yang membingungkan dunia usaha atas penerapan pajak pertambahan nilai sebesar 11%, maka menimbulkan pertanyaan mengenai integritas birokrasi di Direktorat Jenderal. menafsirkan dengan jelas perintah Presiden Prabov, pajak yaitu Dirjen Pajak,” jelasnya.

Sedangkan Kementerian Keuangan dalam PMK Nomor 131 Sesuai aturan tahun 2024, barang/jasa yang tidak termasuk dalam kategori barang mewah akan dikenakan PPN dikalikan 12%. adalah Basis adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 harga jual, harga pengganti atau harga impor.

Sedangkan pada masa transisi mulai 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, PPN atas barang mewah akan sama dengan DPP barang/jasa mewah sebesar 12%,” ujarnya.

Menurut Misbakhun, tarif PPN yang berlaku berdasarkan keputusan tersebut adalah 12%, bukan 12% untuk barang/jasa non-mewah seperti yang dikemukakan Prabowo.

Memang benar, harga jual 11/12 lagi tetap 11%, PPN atau tidak ditambah PPN. Aturan itu membuat keresahan di masyarakat, banyak perusahaan retail yang PPNnya 12%, kata Dirjen Pajak dalam siaran persnya. rilis pada 2 Januari 2025. Seperti yang dijelaskan dalam pengarahan.

Misbakhun juga sangat dekat dengan implementasi peraturan tersebut dengan menyentuh persiapan persetujuan peraturan PPN sebesar 12%. Sebab, menurut dia, jangka pendek tidak memberikan waktu bagi pengusaha untuk bersiap menghadapi perubahan sistemnya.

Meskipun pada akhirnya kewajiban PPN dapat dihitung kembali dengan menggunakan metode dalam SPT Masa PPN, namun hal ini berarti masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya.

Kementerian Keuangan RI dalam hal ini menerbitkan peraturan Direktorat Jenderal Pajak dengan bahasa yang sederhana, tidak banyak menimbulkan interpretasi dan tetap menggunakan metode yang tepat dalam menyusun peraturan.

“Apakah Kementerian Keuangan, khususnya Dinas Perpajakan, sudah benar dalam menafsirkan instruksi Presiden? Dinas Perpajakan tidak boleh memberikan penafsiran umum atau memberikan ketentuan yang berbeda dengan perintah Presiden yang dapat dipercaya masyarakat. katanya.

Menurutnya, ia mengkritik Dirjen yang mengenakan pajak kepadanya dengan mengatakan akan mengusulkan mundur jika tidak bisa menjalankan perintah Prabov. Sebab menurutnya aturan PPN 12% tidak sesuai perintah Prabow.

“Sebaiknya Dirjen Pajak memilih menulis surat pengunduran diri jika tidak mampu melaksanakan perintah Presiden Prabowo karena apa yang dilakukan terkait aturan teknis pelaksanaan tidak berdasarkan keinginan dan keinginan. penafsiran pasal-pasal undang-undangnya konkrit dan sudah jelas dan ini di dunia usaha menghasilkan implementasi yang menciptakan momentum,” ujarnya. (Ada/Rard)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top