Jakarta –
Indonesia Resmi Masuk BRICS, Ekonom Peringatkan Ini
Indonesia resmi menjadi anggota blok ekonomi Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan (Afrika Selatan) atau BRICS. Sejumlah ekonom telah memperingatkan agar Indonesia tidak masuk ke dalam salah satu blok ekonomi terbesar.
Direktur Eksekutif Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai, keikutsertaan Indonesia dalam BRICS dapat mempererat hubungan tidak hanya dengan Tiongkok, namun juga dengan Brazil dan Afrika Selatan serta negara-negara Timur Tengah. Namun, ia memperingatkan pemerintah untuk tidak hanya melihat BRICS sebagai agenda Tiongkok.
“Pemerintah seharusnya tidak melihat BRICS hanya sebagai agenda Tiongkok, namun ada potensi besar bagi Brasil dalam pemulihan ekonomi, dan Afrika Selatan dalam pembangunan transisi energi ramah lingkungan. Hubungan dengan Tiongkok terlalu dominan.” kata Bhima dalam kesaksiannya, Rabu (8/1/2025).
Di sisi lain, Bhima menilai aliansi BRICS tidak terlalu bermanfaat bagi Indonesia. Sebab, perekonomian Tiongkok diproyeksikan melambat, terutama pasca terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) yang memicu proteksionisme perdagangan.
Sementara itu, Direktur CELIOS China-Indonesia Desk, Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan, ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang antara China dan AS di era Trump akan mengganggu stabilitas perekonomian di beberapa negara, dan hal ini tentunya akan berdampak pada Indonesia. . Ditambah lagi dengan ancaman Trump terhadap negara-negara anggota BRICS jika mereka melakukan dedolarisasi.
“Reaksi Trump perlu diwaspadai, karena dia termasuk salah satu pemimpin yang membuktikan ucapannya. Jika AS mengenakan tarif 100 persen terhadap negara-negara anggota BRICS, tentu Indonesia akan terkena dampak kebijakan tersebut. Ini akan menjadi tantangan bagi negara-negara anggota BRICS. Perekonomian Indonesia dalam “jangka pendek atau menengah” juga akan menyebabkan penurunan tajam volume ekspor, terutama untuk produk-produk yang sangat bergantung pada pasar Amerika,” kata Zulfikar.
Tak hanya itu, kekhawatiran akan meningkatnya ketergantungan terhadap Tiongkok masih meresahkan Indonesia. Menurut Peneliti CELIOS Yeta Purnama, Indonesia harus lebih agresif dalam mendiversifikasi mitra bilateral untuk menghadapi ketidakpastian perekonomian global di masa depan.
“Potensi kerja sama multilateral tentu bermanfaat, namun jika berada pada kisaran yang sama, ketika perekonomian negara anggota yang dominan seperti Tiongkok sedang lemah, maka akan berdampak pada stabilitas perekonomian dalam negeri,” kata Yeta. .
Ia menambahkan, bergabung dengan BRICS bisa dikatakan berisiko, apalagi jika terlalu fokus pada Tiongkok. Untuk menghindari risiko tersebut, Indonesia harus berperan dalam mendorong kerja sama di sektor-sektor strategis, seperti sektor investasi dan pembangunan infrastruktur yang menyasar kebutuhan negara-negara berkembang, serta berinvestasi langsung pada proyek-proyek yang dapat memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggota.
Oleh karena itu, Indonesia perlu berperan dalam mendorong kerja sama investasi hijau antar negara anggota melalui pengembangan pasar modal yang ramah lingkungan.
“Jika berbicara mengenai Global South, permasalahan mendesak utama yang tidak dapat diabaikan adalah dominasi investasi di sektor ekstraktif. Sehingga BRICS diharapkan juga menyoroti potensi kerja sama investasi hijau untuk pertumbuhan hijau dalam beberapa tahun ke depan. katanya. tambah Yeta. (rrd/rrd)