Deretan Kekalahan RI Vs Vietnam dari Sisi Investasi

Jakarta –

Vietnam merupakan salah satu pesaing utama Indonesia di negara tetangga dalam memperebutkan investor asing. Salah satunya, Indonesia kalah bersaing memperebutkan ‘hati’ perusahaan teknologi multinasional Amerika Serikat (AS), Nvidia Corporation.

Nvidia berencana mendirikan pusat penelitian dan pengembangan kecerdasan buatan (AI) serta pusat data AS di negara tersebut. Investasi tersebut disebut bernilai 200 juta dollar AS atau Rp 3,26 triliun (kurs Rp 16.300).

Kekalahan RI melawan Vietnam diungkap beberapa waktu lalu oleh Bambang Brodjonegoro, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional. Faktanya, mantan pendiri Nvidia Jensen Huang berkunjung ke Indonesia pada November 2024.

Selain Nvidia, Indonesia juga kalah dalam merebut hati Apple. Raksasa teknologi asal AS itu juga masuk ke Vietnam dengan nilai investasi US$15,8 miliar atau sekitar Rp. 257,54 triliun (kurs alternatif Rp 16.300).

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center for Economic and Legal Studies (CELIOS) Bhima Yudhisthira mengatakan, RI tidak satu dua kali kalah dari Vietnam dalam persaingan memperebutkan investor. Sebelumnya, RI juga kalah dalam merebut hati perusahaan mobil China, Chery.

“Perusahaan mobil Cherry memilih investasi US$800 juta di Vietnam Thai Binh. Indonesia hanya menggunakannya sebagai pasar mobil Cherry tanpa membangun bisnis,” kata Bhima kepada Datacom, Sabtu (11/1/2025) dihubungi melalui

Bhima juga menyinggung produsen ban asal Korea Selatan, PT Hung-A, yang memilih pindah ke Vietnam pada awal tahun ini. Perusahaan ini telah melakukan outsourcing lebih dari 70% produksinya ke Eropa, termasuk merek ban terkenal dunia, Dunlop.

Berikutnya adalah perusahaan Taiwan Full Ding Furniture Company. LTD yang juga memilih pindah ke Vietnam pada tahun 2015. Disusul oleh perusahaan alas kaki asal Denmark, PT ECCO Indonesia, yang juga memindahkan sebagian produksinya ke Vietnam pada tahun 2018.

“Data Bank Dunia menunjukkan bahwa selama perang dagang pertama (tahun 2018), 5 dari 8 perusahaan Tiongkok lebih memilih pergi ke Vietnam daripada Indonesia.”

Menurut Bhima, selain Vietnam, Indonesia masih banyak negara pesaing lainnya. Kami katakan Malaysia adalah salah satunya, khususnya untuk industri semikonduktor. Disusul Thailand, untuk industri otomotif, pertanian, dan pengolahan ikan.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengatakan ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan Indonesia dirugikan investor. Pertama, dari segi regulasi investasi dan perizinan mudah. Dalam hal ini Vietnam menggunakan sistem terpusat.

Kedua, Vietnam memiliki beberapa perjanjian kerja sama multilateral dan bilateral dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS), kata Esther dalam pengumuman terpisah.

Lalu yang ketiga, upah buruh dikendalikan oleh pemerintah. Kemudian yang keempat, Esther menyampaikan bahwa biaya berbisnis atau menjalankan usaha di Vietnam murah.

Berdasarkan laporan Ease of Doing Business (EoDB) Bank Dunia, peringkat EoDB Indonesia tidak melampaui Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Pemeringkatan EoDB tahun 2020 menunjukkan Malaysia menjadi negara dengan peringkat tertinggi dibandingkan empat negara lainnya, yakni di posisi ke-12, Thailand di posisi ke-21, Vietnam di posisi ke-70, Indonesia di posisi ke-73, dan Filipina di posisi ke-95 .

Kemudian berdasarkan aspek penilaian, Malaysia menjadi juara khususnya dalam pengurusan izin mendirikan bangunan dan perlindungan investor minoritas, keduanya menduduki peringkat kedua global. Malaysia menyederhanakan proses pengurusan izin mendirikan bangunan dengan menghilangkan pemeriksaan jalan dan drainase oleh Dewan Kota Kuala Lumpur. (fdl/fdl)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top