Jakarta –
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan sederet dampak positif dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Kenaikan PPN ini sendiri sejalan dengan pengaturan PPN dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Penerbitan Peraturan Perundang-undangan (UU HPP). Pemerintah telah sepakat bahwa tidak akan ada kenaikan PPN atas barang dan jasa normal pemerintah.
Mengingat kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, maka PPN sebesar 12% diharapkan berdampak positif pada empat bidang. Rinciannya antara lain kenaikan tenaga kerja, kenaikan tenaga kerja formal, kenaikan PPh 21 per tahun, dan harga minimum.
“Pasca inflasi, pasar tenaga kerja terus tumbuh, daya beli meningkat dan inflasi tetap stabil,” tulis Kementerian Keuangan, dikutip Rabu (25/12/2024).
Kementerian Keuangan menjelaskan, dari sisi peningkatan tenaga kerja, selama periode 2015-2019 rata-rata pertambahan setiap tahunnya mencapai 2,4 juta tenaga kerja atau meningkat 2,0%. Namun ketika PPN 11% diterapkan pada tahun 2022, jumlahnya akan meningkat menjadi 3,2% atau 4,2 juta pekerja.
Setelah itu, rata-rata pertambahan tahunan pada tahun 2023-2024 mencapai 4,7 juta pekerja atau meningkat 3,4%. Artinya sepertinya ada peningkatan yang besar dibandingkan sebelum PPN saat itu sebesar 11%.
Dari sisi peningkatan pekerja formal, pada periode 2015-2019 rata-rata peningkatan per tahunnya mencapai 1,9 juta pekerja atau meningkat sebesar 3,8%. Namun ketika diterapkan PPN 11%, jumlahnya meningkat menjadi 3,6% atau 1,9 juta pekerja. Setelah itu, rata-rata pertambahan tahunan pada tahun 2023-2024 mencapai 3,6 juta pekerja atau meningkat 6,4%.
Selain itu, dalam kasus kenaikan PPh 21, pada periode 2015-2019 rata-rata kenaikan per tahunnya mencapai 8,5 miliar atau meningkat 7,2%. Namun ketika diterapkan PPN 11%, harganya naik menjadi 16,3% atau Rp 24,5 miliar. Setelah itu, rata-rata kenaikan tahunan pada tahun 2023-2024 mencapai 33,2 juta atau meningkat 19,35%.
Dari sisi inflasi, pada periode 2015-2019 rata-rata kenaikan tahunannya mencapai 3,17%. Namun ketika diterapkan PPN 11% pada tahun 2022 maka harganya akan naik menjadi 5,51%. Setelah itu, rata-rata kenaikan tahunan pada tahun 2023-2024 mencapai 2,08%.
Sekadar informasi, Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto pertama kali merespons penolakan masyarakat terhadap kenaikan PPN. Ia tetap optimistis mampu mengendalikan daya beli di tahun mendatang.
Pemerintah masih berharap (menjaga daya beli), kata Airlangga, usai peluncuran EPIC Sale di Alam Sutera, Tangerang, Minggu (22/12/2024).
Tentu kita lihat penjualannya tahun depan, pemerintah akan memberikan paket stimulus lebih banyak, ujarnya.
Airlangga mengatakan, pemerintah akan memberikan lebih banyak insentif pada tahun 2025 setelah penerapan sistem baru tersebut. Insentif tersebut berupa diskon 50% harga listrik periode Januari hingga Februari dan insentif pembelian rumah senilai Rp 2 miliar, belum termasuk PPN.
Selain itu, PPN sepeda motor menjadi tanggungan Pemerintah (DTP). Begitu pula dengan mobil listrik, lanjutnya, bahkan menambahkan pengurangan pajak penjualan sebesar 3% untuk barang mewah yang didukung pemerintah (PPnBM DTP).
“Nah, ini membuktikan pemerintah sangat memperhatikan apa yang dibeli masyarakat,” ujarnya.
Pemerintah juga membebaskan sektor transportasi dari PPN yang dikenal juga dengan PPN 0% pada tahun depan. Hal ini dilakukan salah satunya karena sektor transportasi mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian.
PPN juga tidak termasuk, terutama untuk barang-barang penting. Airlangga mengatakan pemerintah juga memasukkan PPN untuk banyak barang kebutuhan pokok, sehingga tetap sebesar 11%.
Airlangga juga memastikan pemerintah akan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memuat informasi barang mewah berdasarkan PPN 12%. Peraturan tersebut akan terbit pada akhir tahun 2024.
PMK ini berlaku hingga 1 Januari (2025), kata Airlangga.
Tonton videonya: Apakah PPN 12% akan berdampak besar bagi perekonomian Indonesia?
(shc/rd)