Semarang –
Bangunan tua berwarna kuning di ujung Jalan Pemuda Semarang tampak terbengkalai. Bahkan dulunya merupakan hotel dan landmark terkenal di Semarang.
Bangunan tua ini dulunya bernama Du Pavillon dan kini dikenal dengan nama Hotel Divya Puri. Hotel ini tidak lagi beroperasi dan bangunannya rusak. Namun, para karyawan terakhir masih bekerja di sana.
Detektif Jateng menemukan bangunan dua lantai itu tercemar berat dengan puing-puing konstruksi di lokasi hotel yang terletak di Jalan Pemuda di Desa Sekayu, Kecamatan Semarang tengah. Akar besar tanaman liar tersebar di dinding bangunan.
Divya Hotel didirikan pada tahun 1847 sebelum kemerdekaan dan tentunya memiliki sejarah yang panjang. Dulunya terbengkalai dan hanya digunakan sebagai tempat parkir, hotel ini merupakan hotel bintang satu dengan fasilitas terbaik di Semarang.
Karena letaknya yang strategis, menjadi pilihan persinggahan semalam bagi wisatawan yang berkunjung ke Semarang. Namun kini bangunan tersebut hanya berupa bangunan terlantar dan sudah tidak menarik lagi.
Hal itu diungkapkan Amir Budiutomo (61), pegawai terakhir Hotel Dibya, yang kini setia bekerja sebagai satpam demi menjaga eksistensi hotel tempat ia bekerja sejak tahun 1987.
“Saya datang ke sini untuk bekerja pada tahun 1987. Sekarang saya ada tugas security dan diminta mengurus barang-barang yang ada di gedung sampai hotelnya dibangun kembali,” kata Amir saat ditemui ANBALI NEWS Jateng di halaman Hotel Dibya, Minggu (3/11/2024).
Dikatakannya, hotel yang terletak tak jauh dari pusat kota Semarang ini merupakan milik perusahaan pelat merah dan hingga saat ini bergerak dalam bidang pengamanan kamar dari orang yang masuk dan keluar hotel akibat aktivitas negatif. Mulai dari mencuri sesuatu hingga tindakan tidak senonoh.
Amir dulunya bekerja sebagai buruh laundry di Hotel Dibya. Hotel ini sering dikunjungi oleh selebriti di Indonesia. Mulai dari artis hingga pejabat pemerintah.
“Tahun 1987 pengelolaan hotel masih bagus, tertib, masih penuh tamu, masih kaya. Masih ada 111 karyawan. Ini mungkin bukan yang terbaik ketika saya masuk, tapi masih sibuk dan di atas rata-rata. Dia berkata.
Hotel ini tidak hanya menjadi pilihan karyawan tetapi juga hampir semua lapisan masyarakat. Pasalnya, kamar yang ditawarkan adalah Kelas Ekonomi, Standar, Medium dan Terbaik.
Ia mengaku tidak mengetahui berapa bayaran yang ia bayarkan kepada para tamu setiap harinya. Namun, yang dikenang hingga hari ini adalah kesuksesan hotel dengan 42 kamar yang dulunya dihadiri banyak orang.
“Saya ingat kami mengikuti sistem yang lazim, jadi kami diperlakukan seperti keluarga sendiri. Makanan yang disajikan adalah makanan khas Jawa yang biasanya lodeh dan empal,” ujarnya.
Hingga akhirnya sejak tahun 2005, hotel tersebut tertinggal. Karyawan diberhentikan secara masal tanpa alasan.
Terakhir kali dipecat pada Mei 2008. Sedih sekali, apalagi melihat tempat kerja saya dulu. Ayah saya juga bekerja di sini sampai tahun 1987, ujarnya.
Kini pihaknya terus menjaga gedung seluas 1,3 hektar itu 24 jam sehari. Bahkan, ia teringat wajah orang-orang yang kerap memanfaatkan halaman hotel untuk parkir.
“Kerusakannya sekarang parah, terbengkalai, dan sebagian besar sudah dibongkar setelah rencana renovasi tahun 2019. “Tidak ada pemeliharaan untuk membersihkan rumput dan pepohonan di luar,” katanya.
“Lalu ada sesaji di dapur, kamar mandi, dan ruang tamu untuk mengingatkan kita bahwa bukan hanya kita saja yang tinggal di gedung ini. Ada juga hal-hal yang Tuhan ciptakan di sini,” katanya.
Dia mengungkapkan bahwa rencana pembaruan sudah ada. Namun ditunda karena Covid-19. Bangunan hotel kembali runtuh, meninggalkan kengerian yang memicu minat masyarakat terhadap acara TV horor.
“Tapi mereka tidak boleh menembak karena takut dicuri atau ada yang terjatuh karena bangunannya runtuh. Tidak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam gedung tanpa izin dari Hotel Indonesia. “Kami menolak semua pembicaraan horor di televisi.”
Amir pun berharap pemerintah kembali meninjau bangunan terbengkalai penuh sejarah tersebut. Ia ingin pemerintah segera menghidupkan kembali Hotel Dibya agar bisa menerima tamu seperti semula.
“Saya berharap mereka akan segera membangun kembali. Tapi begitulah yang seharusnya terjadi setelahnya, Anda tidak bisa mengubahnya,” ujarnya.
Kini pegawai terakhir hotel “Divya” terus menjaga titik keamanan. Tak jarang ia mengajak temannya ngobrol di dekat pos keamanan untuk menghangatkan suasana.
Ia sesekali berinteraksi dengan warga dan pedagang untuk menyebarkan pesan bahwa bangunan tersebut tidak boleh digunakan sembarangan. Kadang-kadang Amir juga melihat bangunan yang ditinggalkan dan memeriksa barang-barang hotel yang mengingatkannya pada masa kejayaannya.
______________
Artikel ini dimuat di ANBALI NEWSJateng
Simak Video: Duel Sakit di Semarang, Satu Orang Lolos (wkn/wkn)