Pro-Kontra Childfree di Balik 71 Ribu Wanita RI Memilih Hidup Tanpa Anak

Jakarta –

Kasus tidak mempunyai anak atau memilih hidup tanpa anak di Indonesia telah meningkat selama empat tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan tren ini lebih banyak terjadi di kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Rahma Talitha, Guru Besar Psikologi Pendidikan Universitas Mataram, mengatakan fenomena kebebasan anak erat kaitannya dengan keyakinan budaya Timur. Tak heran jika banyak masyarakat Indonesia yang menyikapi tren ini dengan reaksi negatif.

“Tidak semua orang bisa menerima keputusan seseorang yang memilih jalan hidup tersebut,” kata Rahma kepada dticcom, Selasa (12/11/2024).

“Mungkin bagi sebagian orang, terutama yang menganut budaya Timur dan nilai-nilai, nilai atau kepercayaan tradisional seperti ‘anak banyak, semoga sukses’, anak adalah anugerah dari Tuhan dan sebagainya. Tanpa anak justru sebaliknya, begitu mereka melihat anak sebagai pilihan yang salah dan egois.

Pandangan ini lebih mengakar pada generasi sebelumnya, termasuk generasi boomer. Mereka berharap anak-anaknya meneruskan garis keturunan. Dalam hal ini tentu saja perempuan kerap mendapat tekanan.

Di masa lalu, memiliki 10 anak dalam satu keluarga juga dianggap normal. Menurut catatan BKKBN menunjukkan angka kelahiran atau angka kesuburan total (TFR) pada tahun 1970-an adalah 5,6. Artinya, seorang wanita bisa melahirkan 6 hingga 9 anak.

“Saat itu Indonesia baru merdeka, banyak keluarga yang merasa aman memiliki banyak anak. Sementara di era modern, tantangan dan kondisinya sangat berbeda, sehingga sebagian boomer mengadopsi gaya hidup tanpa anak. Tidak bisa. Tidak bisa, kata Rahma. .

Jawaban yang pro-kontra

Menjawab pro dan kontra tidak memiliki anak, Rahma berpendapat diperlukan pendekatan komunikasi yang lebih baik berdasarkan dua pertimbangan tersebut. Salah satu caranya adalah dengan berkomunikasi secara kuat.

“Mungkin lebih bijak jika kita saling menghargai dan menghormati keputusan dan pilihan masing-masing. Kuncinya adalah komunikasi. Misalnya, jika ada konflik dalam keluarga, lebih baik dibicarakan secara paksa.”

“Pastinya anak-anak yang memilih bebas juga punya alasan, tidak hanya sekedar ikut-ikutan. Kalau dibicarakan dengan baik, alasan kita bisa dijelaskan. Mereka bisa melihat dari sudut pandang kita. Saling berempati. Kita berharap mendapat dukungan dan penerimaan dari kedua belah pihak dengan sudut pandang yang berbeda,” sarannya.

Memiliki anak membutuhkan banyak persiapan fisik, finansial, dan mental. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi keputusan seseorang.

Alasan yang bisa dibenarkan bukan berarti kita berhak menghakimi pilihan hidup seseorang, apalagi menghinanya, kata Rahma. Simak video “Video: Angka Pernikahan Rendah, Presiden Korsel Diduga Ejek ‘Saya Hidup Sendiri'” (naf/kna)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top