Jakarta –
Indonesia menargetkan mencapai status negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2036-2038 sesuai visi Indonesia Emas 2045. Untuk mencapai hal tersebut, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bipanas) Suharso Monoarfa menyebutkan angka tertentu. . metode.
Suharso mengatakan pihaknya optimistis Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Pasalnya, ia menggandeng para ahli dari universitas terbaik dunia untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2045.
“Kami melakukan analisa, kami juga bekerjasama dengan universitas-universitas terbaik dunia, dengan Harvard kami melakukan pengembangan keluarga sedemikian rupa, apakah kita berada di jalur yang benar atau tidak, tepat atau tidak, karena kita juga bersaing dengan negara lain, “Kenapa, misalnya, kita butuh waktu lama untuk masuk ke dalam middle-income trap,” kata Saharso dalam acara CEO Forum yang disiarkan online, Jumat. (10/11/2024).
Ia pun membandingkannya dengan China yang akan menjadi negara berpendapatan tertinggi pada tahun depan. Ia mengatakan, saat ini pendapatan per kapita Tiongkok sudah mencapai batas negara berpendapatan tertinggi, yakni sekitar 14.000 dolar AS.
“Tiongkok akan segera lulus, karena ambang batas tahun depan adalah sekitar $14,000. Saat ini, ambang batas untuk negara-negara berpendapatan tinggi adalah sekitar $14,040. Sekarang kita berada pada kisaran $5,000 dolar. Pertanyaannya adalah apakah kita bisa melakukannya?
Ia menjelaskan, salah satu cara untuk menghindari kompresi pendapatan rata-rata adalah dengan menurunkan rasio tambahan modal produksi (ICOR). Saat ini angka ICOR tertinggi di Indonesia berada pada level 6. Dengan angka tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5%.
Jika indeks Icore Indonesia bisa diturunkan ke level 5 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 6%. Sebagai referensi, ICOR mendefinisikan jumlah tambahan modal baru (investasi) yang diperlukan untuk meningkatkan satu unit produksi guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan pencapaian pembangunan nasional. Nilai ICOR diperoleh dengan membandingkan jumlah kelebihan modal dengan jumlah kelebihan produksi.
Semakin tinggi nilai koefisien ICOR, semakin tidak efisien perekonomian pada suatu periode tertentu. Hal sebaliknya juga berlaku.
“Jadi pertanyaan besarnya bagaimana kita bisa menurunkan ICOR, ini soal efisiensi, di bawah kepemimpinan Yang Mulia kita digitalisasi birokrasi dan sebagainya, tapi tidak bisa hanya di tingkat nasional saja, tapi apa yang harus dilakukan? dilakukan? Itu dilakukan di tingkat bawah karena harus dilakukan dan mendapat respon dari masyarakat, dari para CEO,” jelasnya.
Ia juga menyoroti banyaknya pekerja Indonesia yang bekerja 20 jam seminggu dan hanya dibayar Rp 500.000. Namun idealnya Anda dibayar Rp 2.250.000 per minggu dengan jam kerja yang sama.
“50 juta pekerja ke bawah bekerja kurang dari 20 jam per minggu dan hanya dibayar Rp 500.000. Pertanyaannya adalah untuk memenuhi kapasitas tersebut sekaligus menurunkan ICOR untuk meningkatkan produktivitas penduduk. 20 jam.” Jadi 30 jam yang didapatnya akan sangat tinggi atau mendapat 20 jam, tapi kualitas pekerjaan yang menghasilkan Rp 4 juta per minggunya berbeda-beda,” jelasnya. (RRD/RD RD)