Jakarta –
Kecerdasan Buatan (AI) dapat digunakan di banyak bidang kehidupan dan tren terkini adalah membuat pengantin menggunakan kecerdasan buatan.
Namun mantan CEO Google Eric Schmidt melihat konsep pacar AI sebagai hal yang berbahaya. Menurutnya, kecenderungan untuk menjadi pacar AI yang sempurna dapat meningkatkan rasa kesepian dan memicu perilaku obsesif.
Hal itu diungkapkan Schmidt saat membahas bahaya AI dan regulasinya bersama Scott Galloway di The Prof G Show. Ia menjelaskan tren yang berkembang di mana remaja dapat menggunakan AI untuk menciptakan pasangan romantis ideal mereka dan bahkan mungkin jatuh cinta dengan AI tersebut.
“Ini adalah contoh bagus dari masalah yang tidak dapat diprediksi berdasarkan teknologi yang ada,” kata Schmidt, seperti dikutip ANBALI NEWSINET dari Techspot, Jumat (29/11/2024).
Schmidt menciptakan skenario di mana manusia menciptakan pengantin AI yang sempurna secara visual dan emosional. Hal ini dapat membuat seseorang terobsesi dan hanya memikirkan AI.
“Ada banyak bukti bahwa hal ini merupakan masalah bagi laki-laki muda. Dalam banyak kasus, laki-laki muda mempunyai jalan yang lebih sulit menuju sukses karena pendidikan mereka lebih rendah dibandingkan perempuan saat ini,” tambahnya.
“Banyak cara hidup tradisional pria sudah tidak ada lagi, sehingga mereka mengalihkan perhatian mereka ke dunia online untuk mencari kesenangan dan penghasilan,” jelas Schmidt.
Pernyataan Schmidt bukannya tidak berdasar, karena sudah ada contoh kasusnya. Oktober lalu, seorang ibu menggugat Character.ai atas kematian putranya yang masih remaja, yang bunuh diri karena terobsesi dengan robot buatan perusahaan tersebut.
Para korban jatuh cinta dengan robot berbicara berdasarkan karakter Daenerys Targayen dari Game of Thrones. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di kamarnya “mengobrol” dengan chatbot.
Menurut Schmidt, remaja rentan terhadap ancaman AI karena emosinya belum berkembang sepenuhnya. Menurutnya, orang tua harus lebih terlibat dalam aktivitas online anaknya. Meski diakuinya, orang tua tidak bisa banyak mengontrol aktivitas online anaknya.
“Anda menempatkan anak berusia 12 atau 13 tahun di depan semua ini, dan mereka memiliki akses terhadap semua hal baik dan buruk di dunia. Dan mereka belum siap menghadapi hal itu,” jelasnya.
(asj/fay)