Jakarta –
Tarif pajak pertambahan nilai (PPN) diperkirakan naik dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Hal itu tercermin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Reni Yanita, Direktur Jenderal Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian (IKMA), mengatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen bisa mengganggu arus kas industri lokal. Terutama pada arus kas karena harus mengeluarkan banyak modal untuk membeli bahan baku.
Padahal, menurutnya, industri bisa memberikan kredit atas nilai tambah yang dibayarkan saat membeli bahan baku (PPN Masukan/PPN Masukan dan PPN/PPN Keluaran dari skema perhitungan).
Namun kredit pajak pertambahan nilai ini hanya bisa dilakukan jika industri membeli barang atau bahan baku dari Perusahaan Kena Pajak (PKP) sehingga sedikit banyak bisa meringankan beban kenaikan harga.
Prinsip pajak pertambahan nilai sebenarnya hanya arus kas, Selasa (19/11/2024), kata Reni kepada wartawan di Kementerian Perindustrian Jakarta.
“Tetapi masih 11% sampai 12% mempunyai uang tambahan yang harus dia bayarkan terlebih dahulu (beli bahan baku), bahkan pada akhirnya menjadi barang dagangan, sesuai bahasa perpajakan (pembayaran pajak) jelas Reni.
Namun, menurut dia, yang menjadi permasalahan adalah ketika industri membeli bahan baku dari perusahaan bebas pajak, bukan PKP. Sebab membuat sistem pengkreditan pajak nilai menjadi tidak tepat.
Tapi yang jadi persoalan adalah kalau (industri) asli yang dibelinya bukan dari pengusaha kena pajak, PKP Kalau kita beli dari orang tersebut, sepertinya dia bukan PKP, jadi apa yang kita bayarkan ke dia tidak bisa ditebus. Dia menambahkan, kredit pajak pertambahan nilai) di akhir.
Selain itu, Reni menilai yang terpenting saat ini adalah bagaimana meningkatkan konsumsi dalam negeri. Sebab, tidak ada manfaatnya bagi industri untuk mendapatkan keringanan kredit pajak ini jika produk yang dihasilkannya tidak laku.
“Itu (industri) kan biayanya (bahan bakunya) tapi begitu (PPN) dimasukkan tidak ada yang beli (produk industri) dan itu menjadi beban bagi kita dan yang penting konsumen kita tetap membeli produk di Kabupaten, kan. ?” Dia selesai.
Tonton videonya: Indef mengatakan pemerintah punya pilihan lain untuk menstabilkan perekonomian
(fdl/fdl)