Jakarta –
Perekonomian dunia pada tahun 2025 diperkirakan akan tumbuh meskipun terhambat oleh ketidakpastian arah kebijakan AS pasca terpilihnya Presiden Donald Trump dan meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Selain itu, ketentuan kenaikan tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap banyak negara dengan surplus perdagangan tinggi, termasuk Tiongkok, berpotensi meningkatkan kesenjangan perdagangan global.
Kepala Ekonom Bank PT Syariah Indonesia Tbk (BSI), Banjaran Surya Indrastomo, menilai China adalah negara yang paling mungkin terkena dampak tarif impor AS. Namun, ia meyakini Tiongkok berpotensi mengalihkan ekspor ke negara lain untuk menekan tingginya biaya impor AS.
“Kedepannya Tiongkok sebagai negara yang berpotensi menaikkan tarif impor berpotensi mengalihkan ekspornya ke negara lain yang tidak menerima tarif seperti Vietnam”. Banjaran berbicara pada acara Sharia Economic Outlook 2025: Critical Eleven di Kantor Pusat BSI, The Tower, Jakarta, Senin (23/12/2024).
Sementara dari dalam negeri, Banjaran memperkirakan pertumbuhan akan meningkat menjadi 5,1% hingga 5,2% di tengah perkiraan ketidakpastian global pada tahun 2025. Ia meyakini hal tersebut didukung oleh inflasi yang masih terkendali dalam kisaran sasarannya.
Dengan cara ini, data inflasi dapat mendukung daya beli dan permintaan domestik di tengah risiko lemahnya permintaan eksternal. Meski demikian, Banjaran tidak menampik adanya potensi kenaikan inflasi sebesar 0,4% dan penurunan PDB sebesar 0,1% seiring dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.
Dia menilai rumusan program quick win pemerintahan Prabowo-Gibran berpeluang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam negeri dalam jangka panjang antara lain melalui industri dan penyedia jasa makanan dan minuman, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.
Ia menekankan, “sektor berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia, serta sektor terkait infrastruktur berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025”. (kilo/kilo)