Jakarta –
Mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranu mengungkapkan, ada lima dampak buruk dari kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025. Ia mengingatkan kebijakan tersebut tidak akan menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia.
Catatan itu disampaikan Ganjar dalam video yang diunggahnya di akun YouTube pribadinya. Poin-poin penting yang disampaikannya dalam video berdurasi 10 menit ini mengkritisi kebijakan kenaikan PPN menjadi 12%: 1. Kerapuhan ekonomi.
Ganjar mengatakan, komplikasi pertama yang bisa ditimbulkan oleh kenaikan PPN sebesar 12% adalah kerapuhan ekonomi. Ia menilai PPN 12% itu datang di saat yang tidak tepat dan saat perekonomian sedang melemah.
Ia menjelaskan, deindustrialisasi dini telah memukul tumpuan perekonomian nasional. Pasalnya, pangsa industri terhadap PDB menurun dari 23,56% pada tahun 2014 menjadi hanya 19,28% pada tahun 2024. Belakangan ini ramai pemberitaan mengenai penutupan pabrik.
“Pabrik-pabrik tutup, mesin-mesin mati, dan pekerja kehilangan pekerjaan. Ini tanda yang sangat jelas bahwa sektor manufaktur kita yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian sedang melemah,” jelas Ganjar.
Dengan ditutupnya pabrik-pabrik tersebut, lapangan kerja akan hilang. Akhirnya terjadi PHK dan akhirnya daya beli turun karena banyak masyarakat yang kehilangan pendapatan. Ketika penurunan daya beli ini terjadi, maka kenaikan pajak pertambahan nilai jelas akan menjadi pukulan telak bagi masyarakat.
Ganjar menjelaskan, “Dengan menurunnya daya beli, perekonomian melambat, kenaikan PPN otomatis memperburuk keadaan. Harga naik, konsumsi turun, dan roda perekonomian melambat. Berputar.” Jebakan lapangan kerja informal
Catatan Ganjar lainnya, ada jebakan bagi pekerja informal. Saat ini, kata Ganjar, perekrutan tenaga kerja formal menurun pesat. Pada tahun 2009-2014, terdapat sekitar 15,6 juta pekerja formal, namun kini setelah 5 tahun jumlahnya menurun dan hanya tercipta 2 juta lapangan kerja.
Akhirnya banyak masyarakat yang menjadi pekerja informal yang bergantung pada pendapatan sehari-hari untuk bertahan hidup. Ganjar mengatakan BPS mencatat 83,83 juta pekerja atau sekitar 57,95 persen dari seluruh pekerja Indonesia bertahan di sektor informal.
Ganjar menjelaskan: “Ledakan sektor informal hanyalah sinyal bahwa perekonomian suatu negara sedang memburuk. Masyarakat harus bertahan hidup dengan segala cara.”
Banyak pekerja informal yang bekerja atau menjalankan usaha di sektor UMKM. Oleh karena itu, ketika terjadi kenaikan PPN dan daya beli masyarakat menurun, maka usaha kecil dapat menderita karena banyak yang berhenti belanja. Akhirnya, para pekerja informal ini terjebak dalam kondisi dunia usaha yang lemah.
“Dalam situasi ini, kenaikan PPN memberikan tekanan lebih besar pada usaha kecil. Siapa yang bertahan ketika masyarakat tidak mampu membeli barangnya? Kebijakan kenaikan PPN bisa menjadi badai besar yang mencabut pohon kehidupan di wilayah ini.” Ganjar menjelaskan. Kemunduran kelas menengah
Catatan berikutnya adalah menurunnya jumlah kelas menengah. Menurutnya, kelas menengah saat ini menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Mereka adalah konsumen, penabung dan juga penggerak perekonomian yang paling penting.
Selama lima tahun terakhir, 9,48 juta orang tersingkir dari kelas menengah. Pada tahun 2019, statistik mencatat terdapat 57,33 juta orang yang masuk dalam kategori kelas menengah, namun saat ini hanya tersisa 47,17 juta orang.
“Mereka yang tadinya bisa membelikan buku untuk anak-anaknya, kini harus memilih antara makan atau mencicil. Ini adalah peringatan akan bahaya melemahnya kelas menengah yang berarti perekonomian terhenti,” Ganjar dikatakan.
Oleh karena itu, kenaikan PPN sebesar 12% diasumsikan akan mempengaruhi pengeluaran masyarakat kelas menengah akibat kenaikan inflasi yang mungkin terjadi. Jika dibiarkan, kelas menengah bisa terjerumus ke dalam kasta. Seperti yang dikatakan Ganjar, ketika inflasi terjadi, kelas menengah hanya punya dua pilihan: menahan belanja atau berhutang.
Jika kelas menengah terus menyusut, berarti ketimpangan semakin meningkat. Ketimpangan sosial di Indonesia akan semakin nyata.
Ganjar.4 menjelaskan: “Ketimpangan bisa melebar, indeks Gini kita naik dari 0,30 menjadi 0,385. Ketimpangan sosial jika dibiarkan akan menimbulkan ketidakpuasan, keresahan, dan potensi ketidakstabilan.” Penghematan kapasitas berkurang
Poin keempat adalah berkurangnya kapasitas tabungan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena pendapatan berkurang dengan pengeluaran akibat kenaikan pajak pertambahan nilai, sehingga peluang untuk menabung semakin minim.
Dia menjelaskan catatan Bank Indonesia yang menyebutkan tabungan rumah tangga turun dari 6,3 persen pada 2023 menjadi hanya 4,28 juta per rekening. Di sisi lain, konsumsi meningkat hingga 74,5% terhadap pendapatan.
“Maksudnya apa? Masyarakat kita sudah kehabisan tabungannya untuk bertahan hidup. Tidak ada lagi ruang untuk kebutuhan darurat atau investasi kecil-kecilan, beban PPN 12% akan memperburuk keadaan ini,” kata Ganjar. Dampak makroekonomi
Ganjar dalam catatan penutupnya mengatakan, jika PPN naik maka komplikasi yang mungkin timbul adalah melemahnya pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12% akan mengakibatkan inflasi sekitar 4,11%, karena ada kemungkinan kenaikan harga barang sebesar 9%. Pengeluaran rumah tangga juga akan berkurang sekitar $40,68 triliun karena inflasi.
Terakhir, output ekonomi turun sebesar $79,71 triliun. Artinya, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi hanya 4 persen, jauh di bawah perkiraan sebesar 5 persen.
“Perekonomian menyusut menjadi hanya 4,03 persen. Jauh dari perkiraan Bank Dunia yang sebesar 5,1 persen,” kata Ganjar. (benda/gambar)