Jakarta –
Resminya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hanya berlaku untuk barang mewah. Menanggapi hal tersebut, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menjelaskan masih simpang siur terkait penerapan kenaikan PPN ini.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Youssran menegaskan, kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% atas barang mewah yang diumumkan langsung oleh Presiden Prabhu dan Menteri Keuangan Sri Mulani, tidak sepenuhnya menjelaskan Barang apa saja yang tidak dikenakan dan tidak dikenakan. Kenaikan PPN.
“Jujur saja, kenaikan PPN (barang mewah) juga sejujurnya masih simpang siur. Karena kebijakan presiden kemarin, yang kita tahu dari menteri keuangan sepertinya tidak jelas sebenarnya… kena PPN, padahal tidak,” jelasnya kepada ANBALI NEWS, Rabu (1/1/2025).
Lebih lanjut, Maulana menjelaskan jika PPN dinaikkan maka PPN tidak bisa dikreditkan ke hotel dan restoran. Sebab, pembelian seluruh barang dikenakan PPN.
“Mungkin kalau ada yang menyewakan kamar atau menyewakan gedung untuk usaha seperti restoran, kena PPN. Kita mau beli perlengkapan hotel dan restoran, bahan atau barang kebutuhan pokok restoran itu, kena PPN. Tapi kapan maunya?” yang kami jual, kami dikenakan pajak daerah “10%. Jadi tidak bisa dipercaya, sehingga dampaknya sangat besar bagi industri hotel dan restoran,” jelas Maulana.
Maulana juga mengatakan, dampak kenaikan PPN pada sektor hotel dan restoran adalah harga menjadi tidak kompetitif.
Yang sebaliknya adalah daya beli masyarakat. Kalau nanti dampak PPN ini meresap ke masyarakat maka daya beli masyarakat akan menurun. Kalau kita bicara pariwisata misalnya, pesawat (tiket yang dikenakan PPN) adalah jumlah wisatawan domestik kami perkirakan akan meningkat, ujarnya.
Maulana menyayangkan pemerintah belum mempertimbangkan secara detail dampak penerapan tarif PPN sebesar 12% di saat situasi perekonomian dan daya beli masyarakat masih dalam kondisi buruk.
“Kita harus mempertimbangkan daya saing kita dalam pengembangan sektor pariwisata. Pemerintah bilang ekonomi harus tumbuh 8%. Untuk mencapai angka tersebut, lapangan usaha harus diperluas, daya beli masyarakat juga harus baik. Maulana,” katanya
Maulana berharap pemerintah tidak memikirkan peningkatan pendapatan negara melalui kenaikan pajak. Namun, kata Maulana, pemerintah harus lebih tepat menarik masyarakat yang belum membayar pajak dibandingkan menaikkan tarif.
Berbicara mengenai kenaikan tarif hotel, Maulana mengatakan hal tersebut merupakan hal yang paling sulit untuk dibuktikan kenaikannya.
“Kami memahami tarif dinamis, dan ketika kami menetapkan tarif kamar, kami menerapkan konsep tarif yang dipublikasikan, dan tarif terbaik yang tersedia atau harga terbaik pada saat itu. Itu semua bergerak berdasarkan jangka waktu.” katanya.
“Contohnya kalau ada kenaikan (okupansi) seperti high season, nyatanya harganya kembali ke harga yang dipublikasikan. Tapi sekarang agak sulit bagi hotel untuk menerapkannya. Jadi, kalau penuh ya penuh. .Tapi harganya bukan harga biasanya saat high season atau high season.”
Maulana mengatakan, kenaikan tarif tersebut sulit dilakukan, apalagi pascapandemi Covid-19, ketika sektor pariwisata baru mulai membaik dari sisi okupansi. Sementara dari sisi pendapatan, Maulana mengatakan sektor perhotelan masih di bawah target.
“Seharusnya pemerintah turun dan berkonsultasi dengan dunia usaha bagaimana cara menaikkan pajak seiring dengan pertumbuhan pasar. Menaikkan tarif pajak bukan sekedar untuk kepentingan politik atau memenuhi kebutuhan negara itu sendiri.” Maulana. (ed/ed)