Ponorogo –
Ada mitos yang menyebut Gunung Pegut di Ponorogo menjadi penyebab perceraian bagi pengantin baru. Bahkan, gunung ini dikenal angker. Penasaran dengan ceritanya?
Warga Ponorogo meyakini pengantin baru dilarang melintasi Gunung Pegat di Desa Nambak, Bangal, Ponorogo.
Ada yang percaya jika diberikan sembarangan maka pengantin baru akan berpisah alias bercerai. Peget dalam bahasa Jawa artinya talak.
Namun pegiat seni dan sejarah Ponorogo Purbo Sasongo menilai pelarangan tersebut bukan karena mitos, melainkan misterius. Menurut Purbo, Gunung Pegat memang angker dan misterius.
Parbo mengaku beberapa kali melihat penampakan di kawasan itu. Apalagi lokasi Gunung Pegat mempunyai sejarah tersendiri.
“Pada tahun 1965, banyak anggota komunis yang dibantai dan dikuburkan secara massal di Bukit Pegut,” jelas Purbo.
Bahkan, beberapa jam ditemukan pada tahun 1992 saat pelebaran jalan yang menghubungkan Kabupaten Bangal dengan Kabupaten Slahung, tambahnya. Warga meyakini itu adalah kuburan massal bernama Ngglali di Jalan Gunung Pegut.
“Di sisi selatan Gunung Pegut terdapat makam Mbah Warok Singopotro,” kata Purbo.
Mbah Warok Singopotro dipercaya merupakan salah satu murid Sunan Geseng pada tahun 1600an.
“Entah itu wujud Gibang, atau semacam wujud astral yang terhubung dengan dia atau ilmunya,” jelasnya.
Purbo menceritakan, dirinya pernah melewati kawasan Gunung Pegut pada tahun 2007 usai pertunjukan wayang golek. Sekitar pukul 02.00 WIB, ia melihat seekor harimau putih melintas dari sisi utara jalan menuju sisi selatan jalan.
“Saya kaget, wah, apa itu. Tapi lihat saja. Saya sedang mengendarai mobil sendiri saat itu,” tambah Purbo.
Setelah itu, Parbo berpesan agar kita tidak percaya sepenuhnya pada mitos-mitos yang ada di Gunung Pegut. Sebab, warga negara yang menganut keyakinan agamanya harus yakin akan kekuasaan Tuhan.
“Percayalah pada mitos, cukup hargai, jangan dibantah. Jangan terlalu percaya pada mitos, karena bisa merusak keimanan,” pungkas Purbo.
——-
Artikel ini dimuat di ANBALI NEWSJatim. Saksikan video “Perebutan Kayu Jati Bunuh Saudara di Ponorogo” (wsw/wsw)