Jakarta –
Omzet penjualan pedagang pakaian dan perlengkapan kampanye di Pasar Senen Jakarta Pusat terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Situasi ini belum membaik meski kampanye pemilihan umum daerah (Pilkada) 2024 sedang berlangsung.
Rizal, seorang pedagang pakaian dan perlengkapan pesta, mengaku penurunan omset tersebut disebabkan kurang disiplinnya kampanye pilkada menjelang pemilu presiden dan legislatif awal tahun 2024.
“Secara keseluruhan (jumlah peraturan perundang-undangan pada Pilpres, Pileg, dan Pilkada) mengalami penurunan sebesar 45% dibandingkan tahun sebelumnya 2019,” kata Rizal saat ditemui ANBALI NEWS di kawasan Pasar Senen, Senin (28/10/2024). ).
“Sekarang yang masuk paling sedikit satu atau dua pesanan, tidak sebanyak dulu. Dulu (jumlah baju yang dipesan) 1.000, 2.000, bahkan 5.000 per pesanan. Sekarang 1.000 saja susah, dan terkaya hanya 500 untuk tatanan Pilkada Sorong,” ujarnya.
Belum lagi pesanan bendera partai, ia mengaku selama musim pemilu 2019, tokonya selalu mampu menerima pesanan 2.000 hingga 5.000 bendera, namun tahun ini tidak ada.
“(Pesanan) lebih bagus baju, bendera aslinya tidak ada. Dulu satu pihak pesan 2.000-5.000 bendera, sekarang nihil. Bendera merah putih sama, tahun ini pesanannya sedikit,” jelasnya. Rizal.
Selain karena penurunan pesanan, Rizal mengatakan penurunan omzet ini disebabkan karena tokonya terpaksa menjual pakaian dengan harga yang sangat murah karena persaingan yang sangat ketat. Otomatis, laba bersih yang didapatnya juga semakin sedikit.
“Kalau kita klik (sablon) harganya Rp 3.000 per kaos. Paling banyak yang kita dapat (jual kaos kampanye) Rp 500 per kaos. Ya iya kadang (dapat) Rp 1.000 ( bukan kaos) Kalau dibilang “dulunya kaosnya Rp 10.000,- kalau kaosnya Rp 15.000 soalnya sekarang gak jual mahal-mahal”.
Meski enggan membeberkan secara langsung besaran omzet dulu dan sekarang dibandingkan musim pemilu tahun-tahun sebelumnya, Rizal mengaku membeli mobil bahkan sawah saat berjualan baju kampanye. Namun keuntungan tahun ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya produksi bengkel.
“Dulu saya akui penghasilannya besar sekali, saya bahkan bisa beli mobil, bisa beli sawah, apalagi tahun 2014, 2009, pendapatan bersihnya besar sekali. Sekarang, alhamdulillah, saya hanya membeli makanan. dan sewa toko. berikan,” jelasnya.
Irawan, salah satu penjual pakaian kampanye Pasar Senen, juga mengalami hal serupa. Diakuinya, jumlah pesanan yang masuk ke toko saat ini turun 25% dibandingkan musim pemilu 2019. Situasi ini jauh lebih buruk dibandingkan pemilu periode sebelumnya.
“Kalau Pilkada tidak hidup (banyak pesanan), mereka juga mencari lebih dekat (konveksi pakaian kampanye atau sablon) masyarakat lokal. Semakin sering datang ke sini, sedikit berkurang dibandingkan tahun 2009, 2014,”. Masih lumayan,- kata Irawan.
“Sekarang dari tahun 2019 sampai tahun ini sudah berkurang 25%. Mereka lebih condong ke sana, (memberi) lemak (kebutuhan pokok) ke bawah (kampanye), kaos saja kebanyakan.”,- jelasnya lagi .
Seperti Rizal, Iran mengakui bahwa tokonya tidak mampu lagi menjual pakaian kampanye kelas atas karena meningkatnya persaingan.
“Dulu kalau jual baju atau atribut lainnya untung 100%. Jadi, misalnya harga jual piring bermodal Rp 40.000, maka bisa dijual dengan harga Rp 80.000. Atau bisa juga jual baju dengan modal Rp 15.000 dengan modal Rp 30.000. per potongnya bisa dijual,” ujarnya.
“Sekarang susah untung besar. Misalnya sekarang modalnya 40.000.000 rupiah, tadinya dapat 80.000.000 rupiah, sekarang sudah sulit mencari penghasilan dari 10.000.000 rupiah menjadi 50.000.000 rupiah. Kalau untung banyak , nanti mahal. , yang sebenarnya tidak untuk dijual, – jelas Iran lagi (fdl/fdl).