Jakarta –
Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) memperkirakan banyak tantangan yang akan dihadapi pada tahun 2025. Pasalnya, daya beli masyarakat belum stabil hingga Desember 2024, permasalahan impor, dan kenaikan Pajak Penjualan Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%.
Presiden APPBI Jenderal Alphonzus Widjaja menilai situasi ini berdampak besar terhadap kinerja mitra dagang. Meski pemerintah menawarkan berbagai insentif, namun jangka waktu yang ditentukan relatif singkat.
“Meski bulan Januari dan Februari hanya ada bansos, tapi saya rasa masih banyak yang kurang,” kata Alphonzus di Jakarta, Jumat (20/12/2024).
Alphonzus menilai kelonggaran yang diberikan pemerintah pada kuartal I 2025 tidak akan berdampak banyak. Pasalnya, triwulan I tahun 2025 masih dalam rangka hari raya penting seperti Tahun Baru dan Idul Fitri.
“Sebenarnya trimester 1 tidak terlalu mengkhawatirkan, karena di trimester 1 ada tahun baru, ada tahun baru Imlek, ada Ramadhan dan Idul Fitri. Padahal, yang harus kita antisipasi adalah setelah Idul Fitri. -Fitri”, ujarnya.
Percayalah setelah libur Idul Fitri ada low season di Indonesia. Memasuki hari besar di kuartal pertama, Alphonzus memperkirakan off-season di Indonesia akan sangat panjang.
“Tren di Indonesia selalu seperti ini, industri ritel setelah Idul Fitri pasti masuk off season. Tahun ini off seasonnya dalam, tahun depan off seasonnya panjang. Jangan sampai panjang. .dan dalam,” tegasnya.
Selain itu, Alphonzus juga berharap pemerintah bisa mengambil kebijakan yang baik bagi industri mengingat daya beli yang masih belum stabil. Ia pun mengaku sejak awal meminta Pemerintah menunda kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 12% karena risiko masa rendah yang panjang.
“Dari awal kita minta pemerintah menunda atau membatalkan. Karena sebelumnya menurut saya triwulan 1 aman selama tiga bulan, sembilan bulan kemudian itu yang harus kita asumsikan,” ujarnya akhirnya. (foto/foto)